Cirebon (ANTARA) - Di sebuah ruang kerja sederhana di Desa Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, aroma khas kayu mahoni dan kulit manggis menguar dari wajan yang berisi cairan pewarna alami.
Di tempat itu, seorang perajin batik tampak tekun mengguratkan malam panas di atas kain putih, untuk menghidupkan pola-pola khas yang kaya akan cerita.
Di sudut lain, seorang ibu sedang mencelupkan kain ke dalam cairan warna pekat, mengulang proses itu hingga beberapa kali demi menghasilkan warna yang sempurna.
Suasana ini adalah gambaran keseharian di sentra batik Ciwaringin, sebuah tradisi yang telah hidup sejak akhir abad ke-18.
Bagi Fatoni, pengusaha sekaligus perajin batik di daerah tersebut, kondisi ini adalah napas sehari-hari yang tak pernah ia lupakan.
Pada medio November 2024, dia bercerita kepada ANTARA, bahwa asal-usul batik Ciwaringin bermula dari Babakan, sebuah wilayah di Cirebon yang dikenal sebagai pusat pendidikan agama Islam dengan hadirnya pondok pesantren.
Ia menuturkan seorang tokoh bernama Ki Madamin mengajarkan seni membatik di daerah itu. Namun, seiring berjalannya waktu, fokus di Babakan beralih ke pendidikan para santri, sehingga tradisi membatik diteruskan oleh masyarakat Ciwaringin.
“Dulu, kain dan batik dibuat di Babakan. Ilmunya diwariskan ke sini, dan kami teruskan hingga sekarang,” katanya.
Masyarakat di Ciwaringin, termasuk dirinya, saat ini masih melestarikan dan menjaga tradisi batik yang diajarkan tokoh tersebut.
Fatoni memiliki alasan kuat untuk melanjutkan tradisi ini, yakni ingin merawat budaya agar batik tidak punah. Selain sisi ekonomi, ada nilai keberkahan, kebersamaan, dan kesehatan dalam batik Ciwaringin.
Pria berusia 58 tahun ini memutuskan fokus menekuni industri batik pada 2014. Saat itu, dia menegaskan komitmennya untuk meneruskan usaha keluarga besarnya yang dimulai setelah Indonesia meraih kemerdekaan.
Ia merupakan generasi ketiga yang menekuni usaha batik. Awalnya ia kerja apa saja, mulai menjual gorengan sampai mainan anak-anak. Namun akhirnya ia balik ke Ciwaringin dan mulai membatik.
Meski besar di keluarga pembatik, sebenarnya Fatoni tidak begitu mahir dalam menorehkan ujung canting untuk membuat motif batik terukir pada selembar kain.
Oleh karenanya, dia belajar lagi dari nol dan menyelam lebih dalam agar memahami keistimewaan dari batik Ciwaringin.
Lambat laun, kerja kerasnya membuahkan hasil hingga akhirnya beberapa lembar kain batik selesai diproduksi. Menariknya, wastra buatannya waktu itu disumbangkan secara cuma-cuma kepada masyarakat di desanya.
Fatoni tidak hanya melihat membatik sebagai mata pencaharian, tetapi menjadi jalan keberkahan.
Batik ini bisa mencukupi kebutuhan keluarga, bahkan membawanya ke berbagai tempat tanpa biaya. Bagi Fatoni, itulah salah satu berkahnya.
Pemasaran batik hasil buatannya, dilakukan secara daring maupun luring, termasuk dijajakan di hotel-hotel berbintang di Cirebon.
Meski sempat mengalami kendala, ia tetap optimis terhadap masa depan batik, apalagi wastra khas Indonesia ini sudah ditetapkan sebagai warisan budaya yang diakui UNESCO.
Dengan harga mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, batik Ciwaringin buatannya menawarkan nilai yang sepadan dengan proses pembuatannya.
Saat pesanan membeludak, ia bisa mendapatkan omzet sampai Rp15--Rp20 juta dari menjual kain batik.
Keberhasilannya menekuni usaha batik pun, turut menyerap tenaga kerja lokal khususnya dari kalangan ibu rumah tangga di desanya.
Di tempatnya ada delapan pekerja, namun ia juga membeli hasil dari perajin batik yang ada di Ciwaringin.
Motif yang bercerita
Batik Ciwaringin juga dikenal karena motif-motifnya yang sarat makna, seperti gribigan, tebu sekeret, raja gosi, pecutan, dan lainnya.
Motif-motif batik tersebut sudah dipatenkan serta menjadi identitas dan ciri khas untuk batik Ciwaringin.
Setiap motif itu menyimpan nilai sejarah dan makna filosofis yang tinggi. Artinya, para perajin batik di Ciwaringin tidak sekadar menggambar pola tertentu, namun menciptakan motif berdasarkan kondisi zaman.
Motif gribigan, misalnya, terinspirasi dari rumah-rumah tradisional di Ciwaringin sebelum kemerdekaan.
Sementara, motif pecutan menggambarkan perjuangan anak-anak belajar mengaji kepada kiai. Hadirnya corak ini bertujuan agar masyarakat tetap ingat untuk terus belajar ilmu agama Islam secara mendalam.
Kondisi kelaparan yang pernah dialami warga Ciwaringin pada masa kolonial pun diabadikan dalam seni batik melalui motif tebu sekeret.
Corak ini menceritakan kisah perjuangan warga yang kelaparan untuk bertahan hidup dengan mengisap potongan batang tebu demi mendapatkan sedikit rasa manis sebagai pengganjal perut.
Di balik helai-helai batik Ciwaringin, ada cerita panjang tentang sejarah hingga kerja keras masyarakat.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024