Kigali, Rwanda (ANTARA) - Pejabat kesehatan Afrika pada Minggu (1/12) menyatakan komitmennya untuk meningkatkan intervensi layanan kesehatan guna mengurangi infeksi HIV baru, bertepatan dengan peringatan hari AIDS se-dunia.

Hari tersebut diperingati dengan tema global Take the rights path: My health, my right!” yang menekankan kaitan antara hak asasi manusia dan akses layanan kesehatan.

Menteri Kesehatan Rwanda, Sabin Nsanzimana, mengatakan bahwa meskipun negaranya telah mencatat kemajuan dalam mengurangi dampak HIV, termasuk menurunkan infeksi baru hingga 70 persen dan kematian terkait AIDS sebesar 60 persen sejak 2010, AIDS tetap menjadi tantangan kesehatan yang serius.

“Ada hampir 10 infeksi HIV baru setiap hari di Rwanda. Ini bukan angka kecil, dan sebagian besar terjadi pada remaja usia 18 hingga 20 tahun. Ini menunjukkan bahwa kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” ujar Nsanzimana.

“Kita harus fokus pada area yang dapat memberikan dampak besar dalam beberapa bulan mendatang. Yang utama adalah memastikan generasi muda mendapatkan informasi yang memadai, karena komunikasi adalah kunci,” tambahnya.

Di Kenya, peringatan Hari AIDS Sedunia berlangsung di Stadion Nasional Nyayo dengan seruan untuk bertindak dan komitmen baru untuk menghilangkan HIV sebagai ancaman kesehatan masyarakat.

Menteri Kesehatan Kenya, Deborah M. Barasa, dalam pernyataannya menyoroti peran penting pria dan anak laki-laki dalam memerangi HIV, mendorong mereka untuk melawan stigma, mempromosikan perilaku mencari pengobatan, dan memimpin upaya di tingkat komunitas.

“Perjuangan melawan HIV adalah usaha kolektif, dan pria serta anak laki-laki harus menjadi penggerak perubahan,” katanya.

Kenya telah mencatat kemajuan signifikan dalam tanggapannya terhadap HIV. Pada akhir 2023, 98 persen orang dewasa yang hidup dengan HIV telah mendapatkan pengobatan, dan 97 persen dari mereka mencapai supresi viral, menurut data resmi.

Infeksi HIV baru di Kenya telah menurun hingga 83 persen dalam dasawarsa terakhir, sementara angka kematian akibat AIDS turun 64 persen. Prevalensi HIV di Kenya kini berada di angka 3,3 persen.

Direktur regional WHO untuk Afrika, Matshidiso Moeti, menekankan bahwa HIV adalah tantangan kesehatan yang kompleks, terkait erat dengan faktor sosial seperti kemiskinan dan ketidaksetaraan gender, serta diperumit oleh stigma dan diskriminasi.

“Melindungi hak asasi manusia adalah kunci untuk mencapai layanan HIV yang universal,” tambahnya.

Menurut WHO, akses yang setara terhadap alat pencegahan dan edukasi adalah kunci menghentikan infeksi baru, sementara stigma dan diskriminasi menjadi penghalang dalam memerangi AIDS.

Tujuh negara Afrika telah memenuhi target HIV 95-95-95 UNAIDS, yaitu tolok ukur global untuk mengakhiri HIV sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada 2030.

Target tersebut mencakup, 95 persen orang yang hidup dengan HIV mengetahui status mereka, 95 persen dari mereka yang mengetahui status positif HIV mendapatkan terapi antiretroviral, dan 95 persen dari mereka yang menjalani terapi memiliki viral load yang tidak terdeteksi untuk mengurangi penularan.

Eswatini, negara kecil di Afrika bagian selatan yang sebelumnya menghadapi salah satu epidemi HIV terburuk di dunia, termasuk dalam negara yang mencapai target global ini.

Perdana Menteri Eswatini, Russell Dlamini, menegaskan bahwa negaranya akan terus mengutamakan hak asasi manusia dalam upaya melawan HIV/AIDS sambil mempertahankan kemajuan yang telah dicapai.

“Saya ingin menegaskan kembali bahwa Eswatini akan terus terlibat dengan tema tahun ini dan memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam mengakses layanan pencegahan, pengobatan, perawatan, dan dukungan HIV,” ujarnya dalam peringatan nasional di Mahlangatja, Distrik Manzini.

Di wilayah Afrika, capaian keseluruhan berdasarkan data WHO adalah 90-82-76.

Sementara itu, di Uganda, Menteri Kesehatan Jane Ruth Aceng mengungkapkan kekhawatiran atas tingginya jumlah infeksi HIV baru yang tercatat setiap tahun, yang dapat menghambat tujuan Uganda untuk mengakhiri AIDS pada 2030.

“Infeksi HIV baru dan kematian akibat AIDS memang telah berkurang. Namun, pengurangannya tidak cukup cepat untuk memungkinkan kita mencapai target yang diharapkan pada 2025. Ini juga berarti negara ini berisiko tidak memenuhi tujuan mengakhiri AIDS pada 2030,” ujarnya dalam peringatan Hari AIDS Sedunia di Distrik Buyende, Uganda Timur.

Ia juga mencatat bahwa respons terhadap HIV sangat bergantung pada pendanaan donor. Namun, dengan bergesernya prioritas, terjadi pengurangan pendanaan.

Kontribusi pendanaan dari donor utama negara, US President’s Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR), menurun dari 426 juta dolar AS (sekitar Rp6,8 triliun) pada tahun anggaran 2022/2023 menjadi 388 juta dolar AS (sekitar Rp6,17 triliun) pada tahun anggaran 2023/2024 setelah Uganda mengesahkan undang-undang anti-homoseksualitas pada Mei 2023.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Beijing laporkan penurunan kasus baru HIV/AIDS
Baca juga: UNAIDS laporkan 630.000 kematian terkait AIDS pada 2023
Baca juga: Hari HIV/AIDS Sedunia momen gencarkan skrining TB pada populasi kunci

Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024