Jakarta (ANTARA) - Di sebuah sudut wilayah Jambi, tepatnya di Desa Batu Putih, Pelawan, Sarolangun, tersimpan kisah yang tak sekadar membumi, tetapi juga menggugah hati.

Di bawah kepemimpinan seorang kepala desa bernama Mulyono (47), masyarakat desa ini sejak dua tahun lalu membuktikan bahwa hidup berdampingan dengan alam bukan sekadar konsep, melainkan jalan hidup yang dijalani dengan penuh kesadaran.

Batu Putih, bersama dua desa tetangganya, Mekar Sari dan Pematang Kulim, perlahan-lahan mengukir narasi baru tentang manusia, hutan, dan api.

Dulu, hutan di sekitar Batu Putih yang luasnya mencapai lebih dari 1.000 hektare kerap terancam oleh kebakaran. Lahan gambut yang terbakar bisa berbulan-bulan menyala, menyelimuti desa dengan asap tebal yang mengaburkan harapan.

Masyarakat dulu terbiasa membuka lahan dengan cara membakar, sebuah tradisi yang diwariskan tanpa memikirkan dampaknya. Akan tetapi, sebagaimana api bisa menghancurkan, ia juga bisa menjadi penerang.

Ketika sebuah intervensi positif melalui program konservasi BioCF ISFL Jambi hadir, ada harapan baru yang tergambar. Tepatnya sejak 2021, The BioCarbon Fund plus-Initiative for Sustainable Forest Landscape (BioCF ISFL) dilaksanakan di desa itu sebagai program untuk mempromosikan dan memberikan imbalan atau reward terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan meningkatkan sekuestrasi (penangkapan karbon) melalui pengelolaan lahan yang lebih baik dalam kerangka Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).

Saat ini Provinsi Jambi memang telah dipilih sebagai salah satu pilot lokasi program dalam rangka penurunan emisi GRK salah satunya lantaran hutannya yang masih begitu luas.

Dari program yang diimplementasikan melalui Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Unit VIII Hilir Sarolangun, Provinsi Jambi, itu, Desa Batu Putih mulai membangun kesadaran. Tidak sekadar merancang sistem, tetapi juga mengubah pola pikir.

Mulyono, bersama masyarakat para penerima manfaat lainnya, melaksanakannya dengan hati. Pria yang lahir di Surabaya, 21 Januari 1977, tapi dibesarkan di Sumatera itu, memahami bahwa menjaga hutan bukan hanya soal melestarikan pohon, melainkan juga melindungi kehidupan itu sendiri.

Namun, perjalanan ini memang tidak dilakukan sendirian. Keberhasilan Batu Putih juga tidak lepas dari peran KPHP Unit VIII Hilir Sarolangun, yang memberikan pendampingan intensif.

KPHP Unit VIII Hilir Sarolangun yang mengelola hutan seluas 110.372 hektare di wilayah itu menjadi garda terdepan dalam pengelolaan hutan produksi, membantu masyarakat dengan memberikan pelatihan, bantuan teknis, hingga penyuluhan berkelanjutan tentang pentingnya pengelolaan hutan tanpa pembakaran.

Kepala KPHP Unit VIII Hilir Sarolangun, Misriadi, menjelaskan bahwa melalui program fasilitasi multilateral yang didukung oleh Pemerintah negara donor dan dikelola oleh Bank Dunia itu diimplementasikan serangkaian kegiatan mencakup patroli hutan serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang hutan dan pelindungan hutan.

Dilakukan pula peningkatan kapasitas untuk pengelolaan kebakaran secara partisipatif untuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Hutan Adat, Kelompok Masyarakat Peduli Api (KMPA), Kelompok Tani Peduli Api (KTPA), dan Kelompok Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Pokmas BNPB) di daerah hotspot untuk menurunkan angka deforestasi dan titik api.

KPHP juga menyelenggarakan pelatihan untuk kelompok MPA di tiga desa, yaitu Desa Mekar Sari, Desa Pematang Kulim, dan Desa Batu Putih.

Mereka juga membangun posko bersama di wilayah-wilayah rawan kebakaran, lengkap dengan peralatan pemadam kebakaran yang memadai. Kolaborasi ini memperkuat keterlibatan masyarakat, membuat mereka merasa tidak sendirian dalam perjuangan menjaga hutan.

“Sekarang, dalam 2 tahun terakhir, kebakaran lahan di sini paling hanya satu atau dua kali. Itu pun bisa ditangani dengan baik,” ujar Mulyono, ayah dua anak itu.

Angka itu sungguh kontras dengan masa lalu ketika lahan gambut terbakar hingga berbulan-bulan, menyisakan kepedihan yang sulit dilupakan.

Copyright © ANTARA 2024