Jakarta (ANTARA) - Penghujung tahun 2024 menjadi masa penting bagi komunitas ilmu tanah di Indonesia. Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 192 Tahun 2024 tentang Kementerian Pertanian pada 8 November 2024.

Salah satu langkah monumental dalam Perpres ini adalah pembentukan Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian, sebuah unit eselon I baru yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal (Dirjen).

Direktorat ini memiliki mandat besar yakni menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang lahan dan irigasi pertanian.

Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian menjadi semacam kado istimewa bagi komunitas ilmu tanah, yang setiap tahun merayakan Hari Tanah Sedunia (World Soil Day) pada 5 Desember.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) menyetujui Perayaan Hari Tanah Sedunia jatuh pada tanggal 5 Desember bertepatan dengan hari lahir Raja Thailand Yang Mulia Raja Bhumibol Adulyadej.

Raja Thailand tersebut diakui dunia telah mendedikasikan kehidupannya dengan memuliakan tanah.

Raja Bhumibol begitu perhatian pada tanah tempat kakinya berpijak dan tempat dirinya bertahta.

Raja Bhumibol selalu memastikan kebijakan pertaniannya melalui manajemen sumberdaya lahan dan air sebagai penopang kemajuan pertanian.

Pada akhirnya Thailand dikenal bukan hanya sebagai sentra pertanian dunia, tetapi melampauinya sebagai Kitchen of The World alias dapur pangan dunia.

Sejak ditetapkan pada 2014, Hari Tanah Sedunia dirayakan secara serentak di seluruh dunia oleh komunitas ilmu tanah di dunia.

Salah satu tujuan perayaan WSD serentak di seluruh dunia adalah mengangkat isu tanah ke dalam perhatian nasional dan global untuk memastikan tanah sebagai elemen penting dalam kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.

Tanah yang sehat adalah fondasi utama untuk menciptakan pertanian berkelanjutan dan mencapai cita-cita swasembada pangan.

WSD juga menjadi sarana untuk mengadvokasi pengelolaan sumber daya tanah yang berkelanjutan.

Kembali pada konteks Indonesia, keberadaan direktorat baru ini menunjukkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menempatkan tanah dan air sebagai prioritas utama dalam mewujudkan swasembada pangan Indonesia.

Tanpa tanah yang sesuai dengan peruntukkannya dan air yang memadai, maka swasembada pangan hanyalah sebuah mimpi kosong.

Direktorat ini diharapkan mampu mengharmoniskan kebijakan dan praktik pengelolaan lahan serta irigasi yang selama ini seringkali dianggap memiliki kesenjangan dengan hasil-hasil riset di bidang ilmu tanah dan manajemen sumberdaya lahan.

Kehadiran direktorat baru ini menunjukkan bahwa Presiden ingin memastikan langkah menuju swasembada pangan tidak boleh dilakukan secara sembrono atau tergesa-gesa. Kecepatan harus diimbangi dengan kehati-hatian.

Menteri Pertanian, Amran Sulaeman, menindaklanjuti arahan ini dengan menunjuk Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) sebagai pelaksana tugas Direktur Jenderal.

Selain itu, dua tokoh ilmu tanah lainnya diangkat sebagai Kepala Pusat Standarisasi Instrumen Tanaman Pangan, BSIP dan Direktur Perlindungan dan Penyediaan Lahan.

Ketiga pejabat ini adalah ilmuwan yang telah lama berkontribusi dalam riset ilmu tanah dan diakui kompetensinya.

Tentu, publik berharap penunjukan para ahli ini bukan hanya langkah simbolis, tetapi sebuah upaya strategis untuk memastikan kebijakan yang dirumuskan berbasis pada ilmu pengetahuan dan riset yang telah dilakukan secara matang.

Keberlanjutan Lingkungan

Publik sebelumnya khawatir bahwa program seperti pencetakan sawah baru akan dilakukan tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Kini, dengan keterlibatan ahli tanah, kekhawatiran tersebut diharapkan dapat terjawab.

Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian menjadi wadah untuk merumuskan kebijakan lahan yang komprehensif.

Tentu, salah satu tugas utama direktorat ini adalah memastikan bahwa kegiatan seperti pencetakan sawah baru atau pemulihan sawah lama yang terlantar tetap mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan karakteristik spesifik lahan.

Dengan demikian, lingkungan tetap terjaga, dan keberlanjutan jangka panjang dapat diwujudkan.

Para ilmuwan yang kini menjadi pejabat publik juga memiliki peran penting sebagai 'suluh' bagi masyarakat.

Mereka diharapkan dapat menyampaikan bahwa upaya mencapai swasembada pangan bukanlah seperti lari jarak pendek (sprint) yang jarak tempuh hanya 100 m, tetapi seperti lari jarak jauh (maraton) yang jarak tempuhnya mencapai 42 km.

Lari maraton tidak sekadar membutuhkan kecepatan belaka, tetapi juga strategi mengatur nafas, menjaga mental, serta konsistensi untuk mencapai finish hingga akhir.

Sejarah menunjukkan bahwa swasembada pangan Indonesia sejak 1984 belum pernah bertahan lebih dari tiga tahun.

Ini menjadi pelajaran penting bahwa swasembada tidak hanya membutuhkan kebijakan yang tepat, tetapi juga eksekusi yang konsisten, meskipun di tengah tantangan besar seperti perubahan iklim, keterbatasan pupuk akibat konflik internasional, dan perubahan kebijakan pemerintahan.

Di sisi lain, pembentukan direktorat ini juga menjadi kabar menggembirakan bagi mahasiswa ilmu tanah di Indonesia.

Mereka kini memiliki contoh nyata bahwa ilmu tanah dapat memainkan peran strategis dalam kebijakan publik yang lebih luas.

Keberadaan direktorat baru ini memberikan ruang yang lebih luas bagi para lulusan ilmu tanah untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional.

Momentum ini juga diharapkan dapat memacu minat generasi muda untuk mendalami ilmu tanah, yang sering kali kurang mendapatkan perhatian dibandingkan disiplin ilmu lainnya.

Dengan semakin jelasnya dampak nyata ilmu tanah terhadap ketahanan pangan, para mahasiswa dan peneliti muda diharapkan semakin terdorong untuk menghasilkan inovasi dan solusi berbasis ilmu pengetahuan.

Terakhir, publik berharap Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian bukan hanya sebuah kebijakan baru, tetapi sebuah cerminan komitmen pemerintah untuk menempatkan tanah dan air sebagai prioritas nasional.

Dalam jangka panjang, direktorat ini diharapkan mampu mendorong terciptanya sistem pertanian yang berkelanjutan, tangguh menghadapi perubahan iklim, dan mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia.

Semoga kebijakan ini menjadi awal dari era baru (new era), ketika ilmu tanah dan irigasi bukan hanya dianggap sebagai disiplin teknis, tetapi sebagai elemen strategis dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia.

Dengan kolaborasi antara ilmuwan, pemerintah, dan masyarakat, cita-cita besar ini bukan lagi menjadi mimpi di siang bolong, tetapi sebuah kenyataan yang dapat diwujudkan bersama.

Langkah monumental ini adalah pengingat bahwa tanah bukan sekadar tempat berpijak, melainkan fondasi keberlanjutan bangsa.

Dengan semangat kolaborasi, visi strategis, dan dedikasi para ahli, Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian memiliki potensi untuk mengubah arah sejarah pertanian Indonesia.

Jika dijalankan dengan konsistensi dan keberanian, kebijakan ini dapat menjadi warisan abadi yang tidak hanya menghidupi generasi saat ini, tetapi juga menyejahterakan generasi mendatang.

Seperti tanah yang selalu siap menumbuhkan kehidupan, mari kita rawat dan manfaatkan kebijakan ini sebagai pijakan menuju masa depan Indonesia yang berdaulat pangan, lestari, dan bermartabat.


*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Copyright © ANTARA 2024