Jakarta (ANTARA) - Tepian Provinsi Jambi, Desa Sungai Merah, Pelawan, Sarolangun, menjadi saksi bisu sebuah transformasi yang tak hanya menyentuh tanah, tetapi juga hati.

Program BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF ISFL), yang berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan lahan berkelanjutan, telah menemukan ruang untuk mekar di desa kecil ini.

Berkat ketekunan Kepala Desa Yulianto dan semangat tak kenal lelah Kelompok Tani Margo Mulyo II, sebuah kisah tentang keberanian, kolaborasi, dan keberlanjutan pun terukir.

Desa Sungai Merah telah lama menyatu dengan hutan, namun hubungan ini kadang menjadi dilema. Sebagian masyarakat bergantung pada praktik tradisional yang sering kali mengorbankan ekosistem demi kebutuhan mendesak, seperti pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.

Ketika Program BioCF ISFL Jambi hadir di desanya, Yulianto melihat peluang besar untuk mengubah pola interaksi ini menjadi lebih harmonis.

Dengan bimbingan intensif dari KPHP Unit VIII Hilir Sarolangun, ia berani mengambil langkah yang jarang ditempuh. Sebanyak tiga hektare hutan dialokasikan untuk agroforestri, sebuah pendekatan yang memadukan fungsi ekologis hutan dengan produktivitas ekonomi.

Keputusan ini bukanlah hal yang mudah. Namun, keyakinan Yulianto untuk melibatkan Kelompok Tani Argo Mulyo II menjadi kunci utama.

Kelompok ini, yang terdiri atas 34 anggota, mulai merancang rencana yang mengintegrasikan tiga tanaman utama, durian, mangga, dan petai dengan kayu pulai sebagai tanaman kehutanan.

Kesadaran akan kebutuhan mendesak akan keberlanjutan membuat mereka juga menanam tanaman sela seperti terong, kacang panjang, jagung, dan cabai. Pola tanam ini tidak hanya memberi hasil yang cepat tetapi juga menjadi fondasi bagi ketahanan pangan lokal.

Di lapangan, semangat para petani begitu terasa. Mereka bekerja bahu-membahu, berbagi pengalaman, dan mempelajari teknik-teknik baru dari pendamping KPHP. Termasuk pendampingan dan penyelenggaraan sekolah lapangan.

Pemahaman mereka tentang pentingnya agroforestri tidak hanya sebagai sarana ekonomi tetapi juga sebagai langkah konservasi hutan semakin mendalam.

“Kami ingin anak-anak kami melihat hutan ini tetap ada,” kata seorang anggota kelompok tani Rohadi. Kalimat sederhana itu menggambarkan esensi dari program ini yang merawat masa kini untuk masa depan.

Data menunjukkan bahwa agroforestri adalah salah satu solusi paling efektif untuk mengatasi tantangan sosial-ekonomi di sekitar kawasan hutan.

BioCF ISFL Jambi menjadi pendekatan program ini yang diharapkan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca melalui peningkatan tutupan vegetasi sekaligus menyediakan pendapatan tambahan bagi masyarakat.


Dampak Positif

Di Sungai Merah, hasil awal dari program ini telah memberikan dampak positif. Panen pertama tanaman sela memberikan tambahan penghasilan signifikan bagi petani, sementara bibit durian, mangga, dan petai mulai menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan.

Para petani semakin berdaulat pangan, mereka menekan pengeluaran belanja ke pasar alih-alih kebutuhan dapur dipenuhi dari kebun agroforestri.

Yang menarik, program ini tidak hanya berdampak di Desa Sungai Merah. Keberhasilannya telah menarik perhatian desa-desa sekitar yang ingin mereplikasi pendekatan serupa.

Mereka datang untuk belajar, mengamati, dan berdiskusi dengan Yulianto dan anggota kelompok tani.

“Kami tidak pernah menyangka bahwa apa yang kami lakukan di sini bisa menjadi inspirasi bagi orang lain,” ungkap Yulianto dengan senyum bangga.

Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari pendekatan holistik yang diterapkan oleh BioCF ISFL dan KPHP. Program ini tidak hanya menyediakan bibit atau peralatan, tetapi juga memberikan pelatihan dan pendampingan intensif.

Dari teknik pembukaan lahan tanpa bakar hingga strategi pemasaran hasil panen, semuanya dirancang untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang.

Pendekatan ini menjadi pelajaran penting bahwa keberhasilan agroforestri bukan hanya tentang apa yang ditanam, tetapi juga bagaimana masyarakat dipersiapkan untuk menjadi mandiri.

Dari sisi ekologi, manfaatnya pun mulai terlihat. Penanaman kayu pulai yang memiliki siklus panen lebih panjang membantu menjaga struktur tanah dan mengurangi risiko erosi.

Sementara itu, kombinasi tanaman sela dengan pepohonan buah menciptakan ekosistem yang lebih beragam, mendukung keseimbangan alam, dan menarik kembali fauna lokal ke wilayah tersebut.

Secara ekonomi, pola tanam tumpang sari telah memberikan solusi cepat untuk kebutuhan pangan sekaligus menyediakan pendapatan jangka pendek.

Namun, di balik keberhasilan ini, tantangan tetap ada. Perubahan pola pikir dan kebiasaan lama membutuhkan waktu. Tidak semua petani langsung menerima pendekatan ini.

Di sinilah peran penting pemimpin lokal seperti Yulianto dan pendamping lapangan dari KPHP. Dengan kesabaran dan pendekatan persuasif, mereka berhasil meyakinkan masyarakat bahwa agroforestri adalah jalan terbaik untuk mencapai kesejahteraan tanpa merusak alam.

Desa Sungai Merah kini menjadi bukti bahwa perubahan bukan hanya mungkin, tetapi juga membawa harapan. Apa yang dimulai sebagai upaya kecil untuk menjaga hutan telah berkembang menjadi model kolaborasi dan keberlanjutan yang menginspirasi.

Program BioCF ISFL Jambi, melalui kerja keras dan komitmen semua pihak, telah menunjukkan bahwa keberlanjutan dan kesejahteraan bisa berjalan beriringan.

Di tengah derasnya arus pembangunan yang sering kali mengabaikan keberlanjutan, kisah Desa Sungai Merah mengingatkan semua bahwa ada jalan lain, jalan yang merangkul alam, memuliakan tanah, memberdayakan masyarakat, dan menyalakan harapan.

Hutan itu kini tidak hanya menjadi tempat hidup bagi flora dan fauna, tetapi juga simbol kebangkitan dan keberanian untuk melangkah ke depan, dan menyiapkan lingkungan sehat bagi generasi mendatang.

Desa Sungai Merah telah membuktikan bahwa transformasi bukan sekadar impian. Dari keberanian kecil menanam harapan di tiga hektare tanah hingga inspirasi besar yang menggugah desa-desa lain, mereka telah memulai gerakan yang tidak hanya mengubah nasib tetapi juga membuka mata dunia.

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan yang sering kali mengabaikan keseimbangan, Desa Sungai Merah berdiri sebagai mercusuar perubahan, mengajarkan bahwa keberlanjutan bukanlah kompromi melainkan kebutuhan.

Hutan ini, yang dulu sekadar ruang hidup, kini menjadi lambang keteguhan manusia dan alam untuk berjalan bersama, menanam hari ini, demi bumi yang tetap hijau esok dan selamanya.

Apa yang dilakukan Yulianto dan masyarakat di Sungai Merah mungkin hanya ibarat setetes air di lautan, tetapi setetes itu cukup untuk menciptakan riak yang tak pernah berhenti bergerak dan menginspirasi kelestarian yang berkelanjutan.

Copyright © ANTARA 2024