...kalau menurut saya tambahannya adalah memfokuskan pada kendaraan publik seperti bus dan sebagainya. Jadi mengurangi kendaraan pribadi, mengurangi kemacetan...
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Ahli Maya Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkular BRIN Indra Al Irsyad memandang program subsidi kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) perlu difokuskan pada transportasi umum agar lebih berdampak positif bagi lingkungan.
“Skema, kalau menurut saya tambahannya adalah memfokuskan pada kendaraan publik seperti bus dan sebagainya. Jadi mengurangi kendaraan pribadi, mengurangi kemacetan, dan sebagainya, tapi kita berikan subsidi atau insentifnya itu ke bus, bus jarak jauh, truk, dan sebagainya,” kata Indra dalam diskusi BRIN yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan saat ini umumnya harga bus listrik dan kendaraan besar lainnya seperti truk listrik masih lebih mahal dibandingkan kendaraan besar konvensional. Penyebabnya utamanya, kata dia, berkaitan dengan harga beli yang masih tinggi, yang akan berimbas kepada peningkatan loan payment.
Baca juga: Perpanjangan insentif EV bakal diputuskan pemerintahan Prabowo
Apabila jumlah bus listrik lebih banyak, lanjut dia, diharapkan hal ini akan menciptakan skala keekonomian yang baru di Indonesia. Dari simulasi yang dilakukan peneliti, mahalnya biaya tersebut akan berkurang jika tingkat mobilitas kendaraan listrik semakin tinggi.
“Dan bus listrik ini akan membuka sebuah peluang yang baru. Di Singapura kami dengar sudah mulai dikembangkan autonomous-nya. Dan ini biaya (cost) untuk supir ini jadi bisa dikurangi, gaji untuk driver. Maka secara total cost akan semakin berkurang,” kata Indra.
Secara umum, penggunaan kendaraan listrik memang dapat menurunkan emisi. Namun di sisi lain, bahan baku baterai kendaraan listrik saat ini masih membutuhkan penggunaan nikel, dimana proses penambangan nikel menimbulkan isu kerusakan lingkungan.
Menjawab hal ini, Perekayasa Ahli Madya Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN Eka R. Priandana mengatakan teknologi baterai yang terkini cenderung akan meninggalkan nikel. Dengan penggunaan baterai berbasis non-nikel diharapkan akan mengurangi perusakan lingkungan akibat penambangan nikel.
Baca juga: Insentif hingga teknologi baterai dinilai rangsang adopsi EV
Kemudian, imbuh Eka, setiap perusahaan pertambangan pada dasarnya telah memiliki tanggung jawab lingkungan sesuai dengan regulasi pemerintah. Dengan kata lain, setiap penambang sudah memiliki exit plan yang tepat berkaitan dengan isu lingkungan.
"Dengan harapan, mudah-mudahan penambangan nikel ini nanti tidak sampai benar-benar merusak lingkungan, karena sudah ada yang bertanggung jawab di pihak penambang itu sendiri,” kata Eka.
Terkait dengan keberlanjutan kendaraan listrik dari industri hulu hingga hilir, Eka mengatakan saat ini masih tahap prematur untuk menilai hal itu baik dari aspek ekologi, ekonomi, maupun sosial, mengingat industri ini dapat dikatakan baru bergerak.
“Kalau baterai itu sudah settle, artinya sudah bisa fast charging, kemudian jangkauannya bisa jauh, kemudian tidak beracun atau bahannya aman, di situ baru kelihatan nanti dari sisi aspek yang lain yaitu dari ekologi, ekonomi, dan seterusnya,” kata Eka.
Baca juga: Rencana insentif mobil listrik CBU dan dilema kemandirian energi
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024