Jakarta (ANTARA) - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Ajid Fuad Muzaki mengungkapkan kasus intimidasi yang dialami masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 tidak sebanyak yang terjadi pada pilkada-pilkada sebelumnya.

"Pada Pilkada 2024 ini masalah intimidasinya nggak sebanyak pilkada sebelumnya, ya, seperti Pilkada 2010 atau Pilkada 2017, yang tekanan terhadap pemilih itu masih dibilang cukup tinggi," ujar Ajid dalam acara bertajuk "Penyampaian Hasil Pemantauan Masa Kampanye, Hari Tenang dan Pemungut serta Penghitungan Suara" dipantau dari Jakarta, Jumat.

Ajid berkaca pada peristiwa yang terjadi pada Pilkada 2017, khususnya di Jakarta. Kala itu, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 diwarnai dengan kontroversi berupa isu SARA dan politik identitas. Bahkan, terdapat larangan untuk memilih calon yang berasal dari latar belakang tertentu.

"Dan sifatnya terstruktur, banyak kasusnya di pilkada-pilkada sebelum 2024. Pada Pilkada 2024 ini, tidak ada pola (intimidasi) yang tersistematis," ucap Ajid.

Baca juga: LPSK minta masyarakat lapor jika jadi korban intimidasi saat pilkada

Intimidasi terhadap pemilih yang terjadi pada Pilkada 2024 bersifat sporadis dan terjadi pada komunitas-komunitas kecil.

Misalkan, kasus intimidasi yang terjadi di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, menjelang hari pemungutan suara.

Ajid merujuk pada penyerangan yang dilakukan sekelompok pemuda di Rumah Pemenangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematangsiantar Wesly Silalahi-Herlina.

"Ini intimidasinya antara pendukung dan sempat berujung keributan, sampai dibubarkan dengan gas air mata," kata Ajid.

Kejadian tersebut bersifat sporadis dan bukan intimidasi terstruktur. "Oleh karena itu, intimidasi pemilih pada Pilkada 2024 cenderung tidak lagi masif," imbuhnya.

Baca juga: Bawaslu: Laporkan polisi dan pengawas kalau ada intimidasi di TPS

Baca juga: PDIP harap rakyat salurkan hak suara secara bebas dan tanpa intimidasi

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2024