Tanpa langkah strategis dan ambisius untuk menurunkan emisi di semua sektor, Indonesia berisiko menghadapi pemanasan global lebih dari 3 derajat Celsius

Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengusulkan beberapa strategi jangka panjang dan pendek yang dapat diterapkan pemerintah dalam transisi energi Indonesia.

Analis Pertanian, Kehutanan, Tata Guna Lahan dan Perubahan Iklim IESR Anindita Hapsari menekankan pada strategi jangka pendek untuk menangani isu yang mendesak, dan jangka panjang untuk membangun fondasi sistem energi rendah karbon yang berkelanjutan dan selaras Persetujuan Paris.

“Tanpa langkah strategis dan ambisius untuk menurunkan emisi di semua sektor, Indonesia berisiko menghadapi pemanasan global lebih dari 3 derajat Celsius, berdasarkan pemodelan IESR,” kata Anindita dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Secara jangka pendek, pertama, pemerintah perlu menegakkan kepatuhan dalam memastikan implementasi kebijakan yang ada, seperti pengetatan standar emisi bahan bakar, dan penerapan bangunan hijau.

Kedua, memberikan insentif untuk mempercepat adopsi teknologi rendah emisi, seperti elektrifikasi kendaraan darat,dan implementasi mekanisme perdagangan karbon.

Kemudian ketiga, mendukung sektor seperti pengolahan mineral agar lebih ramah lingkungan dan memprioritaskan dan akselerasi pengadaan energi terbarukan.

Sementara secara jangka panjang, pertama, pemerintah perlu membangun infrastruktur energi terbarukan seperti, mengembangkan kapasitas produksi hidrogen hijau dan amonia sebagai bahan bakar masa depan, dan memperkuat infrastruktur jaringan listrik untuk mendukung integrasi energi terbarukan.

Baca juga: IESR: Transisi energi belum tercapai akibat kurangnya komitmen politik

Baca juga: IESR: Target Prabowo hentikan PLTU pada 2040 jadi sinyal positif

Kedua, menyusun mekanisme pasar yang mendorong efisiensi dan keberlanjutan energi.

Ketiga, fleksibilitas sistem listrik dengan layanan tambahan dan inovasi seperti ESCO (Energy Service Companies).

Serta keempat, memperkuat peran daerah dalam implementasi kebijakan transisi energi, seperti pengelolaan sumber daya lokal dan perencanaan energi regional.

Adapun IESR menilai transisi energi di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon.

IESR mencatat bahwa keragu-raguan dalam menentukan arah dan laju transisi energi dapat mengancam pencapaian target emisi nol karbon (net zero emission/NZE) sebelum 2050, seperti yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo dalam pernyataannya pada KTT G20 di Brasil.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan transisi energi di 2024 masih dalam tahap konsolidasi sebagai hasil pergantian kepemimpinan nasional dengan target dan prioritas baru dan kondisi ketidakpastian ekonomi global.

Berdasarkan pengukuran kesiapan bertransisi (Transition Readiness Framework/TRF) yang dikembangkan IESR sejak 2022, konsistensi kebijakan dan kepemimpinan dipandang para pelaku bisnis sebagai salah satu penghambat terbesar dalam agenda transisi energi di Indonesia.

Hal yang sama juga terpantau di TRF 2024 di mana meskipun terjadi kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon, transisi energi masih terhambat oleh kurangnya komitmen politik, regulasi yang kurang menarik, dan tata kelola yang tidak mendukung.

Fabby menyebut tahun 2025 menjadi titik kritis untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang reformatif untuk mempercepat transisi energi yang adil dan efisien. Ia juga menyinggung strategi pemerintah yang cenderung berfokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS) yang belum matang, mahal dan berisiko, dibandingkan teknologi energi surya, dan angin, serta baterai atau penyimpan energi yang sudah tersedia di pasar dan harganya semakin kompetitif.

Sementara, banyak negara di dunia telah berkomitmen pada COP-28 tahun 2023 untuk berkontribusi pada upaya global untuk menggandakan efisiensi energi (double down) dan meningkatkan tiga kali lipat (triple up) pada 2030. Komitmen tersebut akan memperbesar peluang investasi dan pendanaan untuk energi terbarukan dan efisiensi energi.

“Kabar baiknya, Presiden Prabowo Subianto dalam forum KTT G20 Brazil menyatakan bahwa Indonesia akan mengakhiri PLTU batu bara pada 2040. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan amanat di dalam Perpres 112/2022 untuk mempensiunkan PLTU batu bara lebih awal dari umur keekonomiannya,” jelasnya.

Baca juga: IESR nilai RI bisa sediakan listrik bersih di pedesaan dan wilayah 3T

Baca juga: IESR ungkap transisi energi buka potensi penciptaan lapangan kerja

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2024