Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN Samarang mengajak seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) untuk menggencarkan pemanfaatan pangan lokal dalam rangka penanggulangan stunting yang pada akhirnya dapat menyongsong generasi emas pada 2045.

“Mari galakkan pangan lokal untuk mencerdaskan generasi emas 2045, untuk menyongsong generasi emas. Kalau bukan dari diri kita sendiri, bangsa kita sendiri, kita tidak akan kuat,” kata Samarang dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan, sumber pangan lokal sebenarnya mudah untuk diakses masyarakat setempat. Hanya saja tantangannya, sebagian masyarakat masih memandang bahwa konsumsi pangan lokal kurang memiliki prestise dibandingkan pangan modern atau pangan yang sudah siap saji.

Selain itu, terdapat faktor budaya setempat mengenai pantangan makanan-makanan tertentu. Samarang mencontohkan, masyarakat etnis Pattae percaya bahwa mengonsumsi ikan gabus nantinya dapat menyebabkan keluarnya darah dari hidung dan mulut sehingga mereka takut mengonsumsi sumber protein tersebut.

Baca juga: Peneliti BRIN kembangkan produk pangan lokal atasi stunting

“Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, karena banyaknya ibu yang menjalani operasi caesar saat melahirkan, akhirnya dianjurkan oleh bidan untuk mengonsumsi ikan gabus sebagai sumber protein hewani tinggi. Maka mereka melakukan itu, dan akhirnya sampai sekarang sebagian dari mereka sudah mengonsumsi ikan gabus,” kata Samarang.

Pada tahun lalu, Samarang bersama sejumlah periset melakukan penelitian serta pemeriksaan gizi makro dan mikro terhadap 35 sumber pangan lokal dari etnis Pattae, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat.

Hasil pemeriksaan gizi tersebut dijadikan landasan sebagai penyusunan menu gizi seimbang yang dapat dipraktikkan bagi ibu hamil sesuai dengan kebutuhan gizinya sehari-hari. Menu gizi seimbang kandeba tersebut diharapkan dapat mendukung penanggulangan stunting, khususnya di wilayah Kabupaten Polewali Mandar.

Samarang mengatakan, prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi. Khusus di Kabupaten Polewali Mandar yang menjadi lokasi penelitian BRIN, ia menyebutkan bahwa kabupaten tersebut memiliki angka stunting tertinggi di Provinsi Sulawesi Barat yaitu sebesar 48,48 persen pada 2018.

Baca juga: BRIN kembangkan tiga formulasi produk pangan efektif cegah stunting

Kemudian pada 2024, berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) setempat, prevalensi stunting di kabupaten tersebut masih berada di angka 21,6 persen. Belum lagi, ujar Samarang, prevalensi balita bermasalah gizi yang tidak stunting juga tinggi yaitu 27,6 persen.

“Jadi, perlu kerja sama intervensi lintas program dan lintas disiplin untuk mengatasi hal tersebut, karena tidak mungkin intervensinya hanya dilakukan oleh satu sektor,” kata dia.

Secara global, ujar Samarang, kasus stunting terkonsentrasi di Afrika Barat, Afrika Tengah, dan Asia Selatan. Penurunan stunting secara global masih berada di angka 1,65 persen per tahun, atau jauh di bawah tingkat yang diperlukan yaitu 6,08 persen per tahun untuk mencapai target SDGs yaitu berakhirnya malnutrisi dalam semua bentuk pada 2030.

Ia mengingatkan, penurunan stunting termasuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yaitu tujuan kedua berupa mengakhiri kelaparan (zero hunger) yang ditargetkan dapat tercapai pada 2030. Target penurunan stunting dan wasting menyasar pada anak di bawah usia 5 tahun serta penambahan nutrisi terhadap perempuan usia muda atau remaja putri, ibu hamil dan ibu menyusui, serta usia lanjut.

Baca juga: BRIN ciptakan inovasi pangan lokal percepat penurunan angka stunting

“Namun, pencapaian target ini tidak bisa berdiri sendiri. Dia akan terkait dengan tujuan SDGs lain seperti kesehatan dan kesejahteraan serta akses terhadap air bersih dan sanitasi yang mendukung upaya mengatasi malnutrisi melalui kesehatan dan lingkungan yang baik,” kata Samarang.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024