Jakarta (ANTARA) - Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) menyerukan pemerintah di seluruh Asia Tenggara untuk mengambil tindakan konkret dan segera guna melindungi anggota parlemen yang menghadapi ancaman, pelecehan, dan kekerasan atas pekerjaan mereka dalam membela HAM, demokrasi, dan supremasi hukum.

Seruan tersebut disampaikan melalui rilis pers APHR yang diperoleh pada Selasa untuk memperingati Hari HAM Internasional.

Mereka menyebutkan bahwa lonjakan serangan terhadap pejabat terpilih, khususnya perempuan merupakan upaya yang disengaja untuk membungkam perbedaan pendapat dan melestarikan otoritarianisme di kawasan tersebut.

Anggota parlemen perempuan, kata mereka, menghadapi ancaman yang unik dan mengerikan.

Anggota parlemen Malaysia Syerleena Abdul Rashid berbagi pengalaman pribadinya dengan menggarisbawahi bahaya yang dialami perempuan dalam kehidupan publik.

"Di luar parlemen, saya menghadapi tantangan yang sangat mengguncang rasa aman dan tujuan saya. Salah satu momen yang paling mengerikan adalah ketika saya menerima ancaman pembunuhan disertai peluru di kantor saya. Saya takut bukan hanya untuk diri saya sendiri tetapi untuk semua perempuan yang berani melangkah ke ranah publik," kata dia.

Syerleena menambahkan, "Jalan menuju kesetaraan gender memerlukan upaya berkelanjutan dari semua lapisan masyarakat. Memperkuat kerangka hukum dan memastikan penegakannya yang efektif merupakan langkah penting, tetapi perubahan budaya dan inisiatif proaktif harus melengkapinya."

Anggota parlemen Filipina Francisca L. Castro menambahkan bagaimana suaranya yang kuat di parlemen yang menyuarakan isu pekerja sektor pendidikan, buruh, petani, perempuan dan pemuda terus membahayakan keselamatan dan keamanannya.

Sembari merenungkan pengalamannya, Francisca berbagi, "Enam tahun lalu, pada 28 November, agen pemerintah Duterte menangkap saya tanpa surat perintah, termasuk 17 pembela HAM lainnya yang menyelamatkan siswa dan guru dari komunitas Lumad," katanya.

"Kami ditahan selama 3 hari 2 malam, kemudian didakwa dengan tuduhan palsu penculikan, perdagangan anak, dan pelecehan anak," tambah dia.

Di Thailand, anggota parlemen Chonthicha “Lookkate” Jangrew menyatakan bahwa “hukum di Thailand dijadikan senjata oleh negara untuk meneror, melecehkan, dan membungkam orang - termasuk anggota parlemen - yang ingin melindungi demokrasi dan HAM, atau menyerukan korupsi dan pelanggaran HAM serius."

Kasus-kasus tersebut, menurut APHR, mencerminkan pola yang mengkhawatirkan dari meningkatnya penindasan di Asia Tenggara, di mana pemerintah menggunakan pelecehan, penganiayaan hukum, dan kekerasan untuk membungkam perbedaan pendapat.

Penargetan sistematis anggota parlemen—terutama perempuan—yang menentang korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran HAM merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menekan oposisi demokratis, dan bagian dari pemerintahan otoriter yang mengakar.

Pada peringatan Hari HAM Internasional tersebut, APHR menekankan perlunya tindakan kolektif yang mendesak untuk melawan tren yang mengkhawatirkan.

“Sebagai wakil rakyat yang dipilih, APHR dan anggota parlemennya akan terus bersatu dan teguh dalam perjuangan melawan otoritarianisme yang merusak kebebasan mendasar, termasuk kebebasan berbicara, berserikat, dan berkumpul," kata Wakil Ketua APHR sekaligus mantan anggota parlemen Malaysia, Charles Santiago.

Baca juga: APHR fokus pada ancaman terhadap anggota parlemen perempuan di ASEAN
Baca juga: Aktivis: Pemerintah punya tiga tantangan hadapi pelanggaran HAM

Pewarta: Katriana
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2024