Jakarta (ANTARA) - Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan bahwa bank sampah akan lebih mandiri apabila dalam pengelolaannya digerakkan oleh masyarakat dengan dukungan berbagai pihak sehingga pada akhirnya dapat menjadi ekonomi kerakyatan.
“Bank sampah ini akan mandiri bilamana akan menjadi ekonomi kerakyatan, tetapi relatif tidak aktif pada saat bank sampah ini dikendalikan langsung oleh pemerintah daerah. Ini pengalaman yang kami tinjau dari berbagai lokasi di seluruh tanah air,” kata Hanif dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Sampah Tahun 2024 bersama para kepala daerah di Jakarta, Kamis.
Oleh sebab itu, ujar Hanif, diharapkan pemerintah daerah (pemda) dapat mewajibkan setiap RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga) memiliki bank sampah unit (BSU). Di samping itu, setiap desa/kelurahan juga perlu untuk dibangun bank sampah induk (BSI). Hal ini dibutuhkan dukungan dan kepedulian dari stakeholder terkait, yang tidak menutup kemungkinan dukungan dari dunia usaha dan para aktivis.
Dalam rangka memperbaiki pengelolaan sampah di hulu, Hanif menyampaikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) mendorong pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan-perbaikan, salah satunya menguatkan peran bank sampah sebagai fasilitas untuk mengelola sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle) sebagai sarana edukasi, perubahan perilaku dalam pengelolaan sampah, dan pelaksanaan ekonomi sirkular.
“Kita wajib menginisiasi ini (bank sampah). Karena tanpa kita menyelesaikan sampah dari hulu, nonsense kita bisa selesaikan sampah di TPA. Yang terjadi adalah kita akan menjadi sistem dengan open dumping yang secara UU memang dimandatkan untuk tidak dilaksanakan dan itu berkonsekuensi pada tindak hukum,” kata dia.
Hanif mengatakan bahwa hampir seluruh daerah memiliki permasalahan utama kondisi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang tidak memadai, telah overload, dan dikelola secara pembuangan terbuka (open dumping) yang sangat rentan menimbulkan pencemaran lingkungan.
Kesimpulan itu ia dapatkan setelah dirinya bersama dengan tim melakukan peninjauan lapangan di berbagai daerah di Indonesia selama hampir dua bulan ini untuk mengetahui gambaran nyata dari kondisi pengelolaan sampah di Indonesia. Lokasi-lokasi yang ditinjau seperti Jabodetabek, Bali, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Riau, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Banten.
Selain masalah pada TPA, kata Hanif, masih ditemukan lokasi-lokasi yang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah ilegal (illegal dumping). Kemudian, masih banyak praktik pembakaran sampah secara terbuka (open burning), serta masih banyaknya sampah yang belum tertangani sehingga bocor ke lingkungan dikarenakan kapasitas pengelolaan sampah di daerah belum memadai.
Ketika ditanya wartawan apakah ke depan akan ada TPA-TPA yang ditutup kembali, Hanif memastikan bahwa TPA yang overload nantinya bakal ditutup. Apalagi, pada TPA ilegal yang akan dikenakan konsekuensi atau sanksi hukum yang berat. Ia menargetkan permasalahan sampah, termasuk masalah-masalah pada TPA, setidaknya dapat dituntaskan dalam waktu satu hingga dua tahun ke depan.
Ia juga mengamini prediksi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas tentang kemampuan daya tampung dan daya dukung TPA nasional yang diproyeksikan penuh pada 2028.
“Isu overcapacity itu perhitungan dia (Bappenas) sama dengan kami, dengan jumlah penduduk dan dengan angka konversi sampah. Tentu kalau kita tidak lakukan langkah-langkah yang dramatis, itu yang terjadi. Sehingga langkah-langkah secara terukur dalam bentuk roadmap kita mesti selesaikan. Jadi tahun 2026 mestinya TPA yang tidak sesuai dengan norma yang kemudian overload, semestinya selesai,” kata Hanif.
Baca juga: Menteri LH: Perlu 3 persen APBD untuk pengelolaan sampah yang baik
Baca juga: KLH minta pemda untuk perbaiki pengelolaan sampah dari hulu ke hilir
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024