Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Trina Fizzanty menyampaikan bahwa pendekatan kritis penting dilakukan untuk memahami dan membongkar permasalahan sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia.

Meskipun sudah 79 tahun Indonesia merdeka dan kini mendekati usia 100 tahun pada 2045, Trina mengatakan bahwa beragam permasalahan masih terus mengemuka seperti ketimpangan dalam pendidikan masih terjadi hingga kualitas pendidikan yang belum meningkat.

“Untuk itu, kami dari Pusat Riset Pendidikan melihat persoalan ini tidak bisa kita pahami tanpa kita mencoba berpikir secara kritis terhadap isu-isu ini. Jadi, kita tidak bisa melihatnya secara terisolasi,” kata Trina dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan bahwa permasalahan pendidikan tidak cukup dilihat dari permukaannya saja seperti terkait dengan model pembelajaran, kurikulum, dan seterusnya. Namun lebih dari itu, permasalahan-permasalahan tersebut muncul dari struktur sosial, budaya, dan politik masyarakat Indonesia.

“Dengan demikian, kita perlu melihat persoalan pendidikan dengan memahami struktur sosial, kultur, dan politik dari masyarakat kita sendiri. Sehingga pertanyaan-pertanyaan kenapa pendidikan kita belum menunjukkan kemajuan setelah lebih dari 75 tahun merdeka, itu mungkin menjadi kunci untuk kita mengangkat isu dekolonisasi pendidikan,” kata Trina.

Baca juga: BRIN nilai Prabowo perhatikan pendidikan dalam menciptakan SDM unggul

Ia menekankan BRIN melalui Pusat Riset Pendidikan secara konsisten memberi perhatian lebih pada isu-isu kritis di bidang pendidikan. Hal ini tercermin melalui buku-buku yang tengah disiapkan untuk diterbitkan dengan tema seperti inklusivitas pendidikan serta inovasi sosial di era digital.

Terbaru, Pusat Riset Pendidikan mengangkat tema dekolonisasi pendidikan. Lebih spesifik, tema ini berfokus pada peran aktor negara dan non-negara dalam mendekolonisasi praktik pendidikan. Buku ini akan dipublikasikan di penerbit buku internasional bereputasi.

“Melalui riset, kita ingin isu-isu yang terkait dengan pendidikan itu tidak hanya melihat persoalan bagaimana kita mengembangkan model-model pendidikan yang ada. Tetapi mencoba membongkar paradigmannya, epistemologinya, isu-isu kritis yang terkait dengan sosial, kultural, politik, yang menyebabkan bahwa kenapa pendidikan kita ini masih belum semaju negara lain,” ujar Trina.

Peneliti Pusat Riset Pendidikan BRIN Rahmatika Dewi menjelaskan, dekolonisasi merupakan gerakan epistemik yang berusaha mengkritisi sistem pengetahuan barat atau modernitas yang selama ini dominan dan seringkali dianggap sebagai satu-satunya kerangka atau rujukan yang valid untuk memahami dunia.

Baca juga: BRIN dorong peningkatan kualitas pendidikan majukan generasi muda

Dalam hal ini, dekolonisasi pendidikan adalah upaya untuk mengubah sistem pendidikan agar lebih inklusif terhadap pengetahuan, nilai, dan budaya lokal, serta melepaskan dominasi narasi kolonial yang sering mengabaikan perspektif masyarakat adat atau komunitas nonbarat.

Tujuan dekolonisasi pendidikan yaitu untuk mendialogkan antara sistem pengetahuan barat dan sistem pengetahuan asli masyarakat nonbarat.

“Sebetulnya ini (dekolonisasi) bukan antibarat tetapi istilahnya adalah mengkritisi terhadap sistem pengetahuan di barat. Jadi, bukan gerakan antibarat sepenuhnya,” ujar dia.

Dengan mengadopsi perspektif dekolonisasi, Rahmatika mengatakan bahwa buku yang akan ditulis ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana reformasi pendidikan yang dipimpin oleh negara mengintegrasikan prinsip-prinsip kesetaraan, relevansi budaya, dan keadilan sejarah. Kemudian, bagaimana gerakan akar rumput dan inisiatif yang dipimpin komunitas berkontribusi terhadap dekolonisasi pendidikan.

Baca juga: BRIN: Digitalisasi pendidikan daerah terpencil picu capaian SDGs

“Kami juga tidak hanya mengundang penulis dari Indonesia saja, tetapi dari luar negeri juga sehingga nanti harapannya dapat melihat praktik dekolonisasi di berbagai negara. Walaupun tidak menjadi fokus kami untuk membandingkan dengan negara lain, tetapi kalau ada case dari negara lain itu akan menjadi lebih baik,” kata Rahmatika.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024