Jakarta (ANTARA) - Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) bersama dengan Pusat Kajian Literasi Kesehatan dan Gender LSPR dan LSCAA (London School Centre for Autism Awareness) menggelar seminar “Lindungi Anak Penyandang Disabilitas dari Bahaya Rokok”.

Kegiatan tersebut bertujuan untuk melindungi penyandang disabilitas, dari paparan asap rokok yang memang membahayakan bagi kesehatan mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Baca juga: TCSC-IAKMI: Orang tua berperan dalam meningkatnya perokok muda

“Dengan mengajak berbagai pihak untuk berpartisipasi aktif, seminar ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi anak-anak penyandang disabilitas, serta mendukung upaya perlindungan yang lebih baik di tingkat kebijakan,” kata Head of LSCAA, Chrisdina Wempi di Jakarta, Jumat.

Menurutnya, merokok merupakan ancaman yang serius bagi kesehatan anak-anak, menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit pernapasan, kanker, dan gangguan perkembangan otak.

Anak-anak yang terpapar dengan asap rokok di lingkungan rumah, sekolah atau tempat umum memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan serius, seperti gangguan pernapasan, asma, infeksi saluran pernapasan, dan gangguan perkembangan otak.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa dampak ini bisa jauh lebih berat bagi anak penyandang disabilitas yang sudah memiliki keterbatasan atau kondisi medis tertentu.

Baca juga: Praktisi kesehatan: Produk tembakau alternatif opsi beralih dari rokok

Selain itu, anak penyandang disabilitas mungkin tidak memiliki pemahaman penuh tentang bahaya rokok, atau kesulitan untuk menghindari paparan rokok dalam kehidupan sehari-hari.

"Kegiatan ini mencerminkan bahwa individu disabilitas juga memiliki hak untuk dapat hidup sehat di tengah-tengah masyarakat, termasuk terhindar dari terpaan asap rokok dan menjadi perokok pasif,” ujar dia.

“Bagi individu disabilitas ada beberapa kondisi berbeda yang menyebabkan memburuknya kesehatan mereka. Sudah saatnya kita menjadi kelompok sosial yang inklusif, artinya memiliki hak dan kesempatan yang setara,” tambah dia.

Untuk diketahui bersama, menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen diantaranya perokok berusia 10-18 tahun.

Kelompok anak dan remaja merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan.

Baca juga: Kemenkes tekan prevalensi perokok guna cegah kematian dini akibat PTM

Baca juga: Kampanye anti rokok bisa jadi salah satu cara cegah remaja merokok

Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3 persen (2016) menjadi 19,2 persen (2019).

Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5 persen), diikuti usia 10-14 tahun (18,4 persen).

Pewarta: Chairul Rohman
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024