Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Trina Fizzanty mengatakan indigenisasi pendidikan tetap bisa dilakukan atau diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang dengan cepat.

“Perkembangan iptek itu tetap menjadi kunci kemajuan bangsa kita, karena di dalam sains, kita akan banyak belajar tentang berpikir yang lebih sistematis dan bisa mendorong ke arah yang kreatif dan inovatif. Namun, ada nilai-nilai yang terus kita pegang yang disebut indigenisasi pendidikan, itu tetap bisa kita pegang,” kata Trina dalam webinar di Jakarta, Jumat.

Ia mencontohkan sistem pendidikan di Jepang yang melahirkan kemajuan iptek, bahkan diakui oleh negara-negara maju, namun tidak menghilangkan nilai-nilai yang berasal dari akar sosial dan budaya masyarakat setempat.

“Pertemuan nilai-nilai inilah yang mungkin akan menarik. Kemajuan dicapai, tetapi tanpa menghilangkan nilai-nilai identitas bangsa,” ujar dia.

Baca juga: Peneliti: Pendekatan kritis penting untuk pahami sistem pendidikan

Di Indonesia, kata Trina, indigenisasi pendidikan dapat dijumpai misalnya di pesantren yang banyak bermunculan lewat peran komunitas masyarakat Muslim. Menurut dia, menjadi sebuah aset penting di dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.

Menurut dia, kini pesantren semakin berkembang dari yang sebelumnya bentuk praktik pendidikan hanya bersifat informal menjadi formal. Bahkan juga berkembang dengan memasukkan kurikulum yang tidak hanya berbasis nasional tetapi juga global. Pengintegrasian ini akan menguatkan sistem pendidikan di Indonesia.

“Saya pernah mengunjungi madrasah yang kemajuan siswanya di dalam sains itu terbukti. Apa yang menjadi kuncinya, karena dimulai dari nilai-nilai dulu yang ditanamkan, karakter, baru mereka kemudian masuk ke menguatkan kemampuan yang sifatnya kognitif melalui sains dan seterusnya,” kata Trina.

Selain pesantren, praktik indigenisasi pendidikan juga misalnya bahan ajar pendidikan yang berbasis pada kepercayaan atau adat lokal hingga muatan lokal yang dikontekstualkan sesuai dengan daerahnya masing-masing.

Baca juga: BRIN: Digitalisasi pendidikan daerah terpencil picu capaian SDGs

Untuk memahami secara kritis bagaimana perkembangan sistem pendidikan di Indonesia, Pusat Riset Pendidikan BRIN pun menginisiasi tema dekolonisasi pendidikan dalam tulisan-tulisan para akademisi yang akan diterbitkan menjadi sebuah buku.

Peneliti Pusat Riset Pendidikan BRIN Rahmatika Dewi menjelaskan, dekolonisasi merupakan upaya untuk mengubah sistem pendidikan agar lebih inklusif terhadap pengetahuan, nilai, dan budaya lokal, serta melepaskan dominasi narasi kolonial yang sering mengabaikan perspektif masyarakat adat atau komunitas nonbarat.

“Jadi, inisiatif spesifiknya (dari dekolonisasi pendidikan) adalah seperti pengindigenisasian kurikulum dan integrasi kearifan lokal. Itu diakui sebagai langkah penting dalam membongkar paradigma Eurosentris,” ujar Rahmatika.

Ia mengatakan, dekolonisasi pendidikan bukan berarti anti terhadap teori-teori dari barat. Tujuan dari dekolonisasi pendidikan, ujar Rahmatika, yaitu untuk mendialogkan antara sistem pengetahuan barat dan sistem pengetahuan asli masyarakat nonbarat.

Baca juga: BRIN nilai Prabowo perhatikan pendidikan dalam menciptakan SDM unggul

“Ini yang akan kita bangun, bagaimana buku ini nanti memperlihatkan kepada orang-orang bahwa kita percaya diri sebagai bangsa yang besar, yang mempunyai hal-hal baik yang bisa diangkat di dalam pendidikan kita dan itu dapat dijadikan acuan justru yang lebih pas untuk konteks Indonesia,” kata Rahmatika.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024