Jakarta (ANTARA) - Riak politik selalu menarik. Kadang hanya butuh satu momen untuk menggambarkan sikap, komitmen, dan kedewasaan seorang tokoh. Begitu juga dengan dinamika politik, yang seperti riak air yang terkadang kecil, tapi dampaknya bisa sangat luas.

Seperti sebuah babak yang baru saja terlewati dalam perjalanan demokrasi di ibu kota. Ketika pada Jumat pagi (13/12), Ridwan Kamil dan Suswono, yang dikenal dengan nama pasangan "Rido", memutuskan menerima hasil Pilkada DKI Jakarta dengan lapang dada.

Keputusan ini tak hanya membuat suasana politik Jakarta lebih sejuk, tetapi juga menjadi simbol keteladanan yang layak diapresiasi semua pihak.

Padahal, hanya beberapa hari sebelumnya, tim Rido sempat meninggalkan alias WO dalam rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Minggu (8/12).

Walkout itu terjadi sebagai bentuk ketidakpuasan atas hasil rekapitulasi suara. Narasi keberatan meliputi sejumlah tudingan soal dugaan pelanggaran yang terjadi hingga anggapan ketidakprofesionalan KPU dan dugaan pelanggaran etik penyelenggara dan pengawas Pemilu.

Namun, berbagai isu panas itu seolah padam ketika keputusan menerima hasil akhirnya diumumkan.

Langkah Rido ini, meski di satu sisi diprediksi oleh beberapa kalangan, tetap menghadirkan kejutan. Ketika politik sering kali penuh dengan gesekan, keberanian untuk melangkah ke arah rekonsiliasi menjadi sesuatu yang jarang, bahkan dianggap mustahil.

Rido, bagaimanapun, menunjukkan bahwa politik tak melulu soal menang atau kalah. Terkadang, justru bagaimana menerima kekalahanlah yang menentukan besar kecilnya ketokohan seorang pemimpin.

“Ini pembelajaran demokrasi dan simpati kami kepada warga Jakarta yang mungkin sudah lelah dengan Pemilu yang panjang akhirnya, pasangan RIDO memutuskan untuk menerima hasil Pilkada Jakarta yang telah ditetapkan oleh KPU," kata Ridwan Kamil saat jumpa pers di Kantor Pemenangan RIDO, Jalan Pegangsaan Jakarta Pusat.

Ridwan Kamil dengan tenang menghadapi media. Kata-katanya lugas, tanpa banyak embel-embel. Dalam politik yang kadang penuh manuver dan permainan kata, sikapnya seperti air es yang menyejukkan.

Ia, bersama Suswono, mengingatkan semua bahwa demokrasi tidak sekadar soal hasil melainkan tentang proses, tentang kepercayaan kepada rakyat, dan tentang kedewasaan.

Keputusan Rido juga menyiratkan sesuatu yang lebih besar, apalagi kalau bukan soal sportivitas politik. Apalagi di Indonesia, di mana ego politik seringkali menjadi panglima, sportivitas adalah barang langka.

Terlebih ketika perselisihan pasca-pemilu kerap berakhir di meja Mahkamah Konstitusi. Faktanya Mahkamah Konstitusi (MK) telah memprediksi akan ada sekitar 324 permohonan sengketa perselisihan hasil pemilu (PHPU) dari pelaksanaan 545 Pilkada serentak 2024.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, prediksi ini didasarkan pada hasil perhitungan MK dengan melihat tren permohonan sengketa dalam pelaksanaan Pilkada tahun-tahun sebelumnya.

Ini membuktikan bahwa budaya menerima kekalahan masih jauh dari mapan. Namun, Rido melangkah berbeda. Bukan dengan perlawanan, tapi dengan penerimaan.

Kedewasaan Berpolitik

Bagi masyarakat, langkah ini semestinya menjadi cermin. Sebab, politik tidak hanya soal elit yang bertarung. Ia mencerminkan bagaimana masyarakat bereaksi terhadap dinamika.

Ketika seorang pemimpin seperti Rido menerima kekalahan tanpa drama, masyarakat juga diajak untuk berdamai dengan perbedaan. Politik, pada akhirnya, adalah alat untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan sekadar arena gladiator.

Lebih dari itu, keputusan ini membuka ruang bagi masyarakat untuk mengevaluasi pilihan mereka secara dewasa. Memilih, dalam demokrasi, adalah hak sekaligus tanggung jawab.

Jika pilihan kali ini belum sepenuhnya sesuai harapan, ini adalah pelajaran untuk menjadi lebih kritis di masa depan. Tidak ada ruang untuk saling menyalahkan. Demokrasi, bagaimanapun, adalah proses belajar bersama.

Bagi Rido, perjalanan politik ini mungkin berakhir di Pilkada Jakarta, tapi pengabdian mereka jelas belum selesai. Kang Emil, misalnya, sudah menegaskan bahwa ia tetap memiliki banyak peran di luar politik elektoral, sebagai arsitek, dosen, atau bahkan kurator Ibu Kota Nusantara.

Pengabdian baginya tidak mengenal batas jabatan. Begitu pula dengan Suswono, yang dikenal sebagai tokoh dengan jejak panjang di bidang pertanian dan pembangunan daerah.

Langkah menerima hasil Pilkada ini, bagaimanapun, bukan tanpa risiko. Di tengah arus pendukung yang mungkin berharap perjuangan lebih keras, keputusan ini bisa saja dianggap sebagai tanda menyerah.

Tapi, Rido memilih jalan yang lebih besar untuk menjaga stabilitas demokrasi. Ketika perpecahan menjadi ancaman nyata, memilih untuk tidak memperkeruh suasana adalah bentuk keberanian tersendiri.

Sikap ini adalah penanda kedewasaan politik yang sangat dibutuhkan negeri ini. Di tengah kebiasaan saling serang dan perpecahan yang sering kali terjadi, keputusan untuk melangkah mundur, memberikan ruang kepada yang lain, dan berfokus pada kepentingan yang lebih besar adalah langkah langka.

Dalam budaya politik yang seringkali diwarnai drama, Rido menunjukkan bahwa kemenangan bukanlah satu-satunya cara menjadi pemenang.

Kadang, menerima kekalahan dengan anggun dan legowo sudah cukup untuk membuat seorang politisi dikenang.

Sebagai bangsa, bangsa ini perlu belajar dari momen ini. Politik bukanlah akhir segalanya.

Politik harus dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih mulia. Dan ketika alat itu digunakan dengan kedewasaan, ia akan menciptakan harmoni, bukan perpecahan.

Keputusan Rido untuk menerima hasil Pilkada adalah pelajaran bahwa demokrasi tidak hanya tentang siapa yang berada di puncak, tetapi juga tentang bagaimana semua pihak, baik yang menang maupun yang kalah, menjaga nilai-nilai yang mendasari sistem itu sendiri.

Ketika panggung Pilkada Jakarta akhirnya ditutup, pesan yang tersisa adalah bahwa demokrasi, bagaimanapun bentuknya, membutuhkan kedewasaan semua pihak.

Dan dalam babak kali ini, Ridwan Kamil dan Suswono telah menunjukkan kepada semua bahwa kedewasaan itu bukan sekadar wacana, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan dan wajib dilanjutkan.

Bangsa ini sudah saatnya dewasa dan matang dalam berpolitik.

Copyright © ANTARA 2024