Hamilton, Kanada (ANTARA) - Seorang pejabat senior PBB pada Kamis (12/12) menekankan perlunya pendekatan yang seimbang dalam menangani tantangan di Afghanistan, dengan memperingatkan bahwa hanya mengandalkan "tekanan dan kecaman" berisiko memperburuk isolasi negara tersebut.
"Seperti yang telah saya tekankan sebelumnya, keterlibatan bukan berarti normalisasi atau pengakuan. Ini adalah cara untuk terus mengomunikasikan keuntungan dari kembali ke sistem internasional. Ini adalah cara untuk mencegah isolasi Afghanistan atau, lebih buruk, kembalinya konflik," ujar Roza Otunbayeva, Perwakilan Khusus PBB untuk Afghanistan, dalam sesi Dewan Keamanan PBB.
Otunbayeva memperingatkan bahwa mengandalkan "tekanan dan kecaman" untuk memengaruhi otoritas Taliban tidak memberikan hasil yang efektif.
"Tekanan dan kecaman tampaknya tidak berhasil, dan jika dilanjutkan tanpa keterlibatan yang maju dan berprinsip, ini akan menyebabkan isolasi Afghanistan," katanya.
"Isolasi bukanlah solusi. Kita harus terus terlibat untuk membangun kepercayaan demi kepentingan rakyat Afghanistan," tambahnya, seraya mendesak negara-negara untuk bersikap "sabar dan pragmatis, sekaligus tegas dan berpegang pada prinsip."
Ia juga menyoroti dampak dari pembatasan yang diberlakukan Taliban, terutama terhadap perempuan dan anak perempuan.
Otunbayeva mengungkapkan bahwa hampir 1.200 hari telah berlalu tanpa akses pendidikan formal bagi anak perempuan di atas kelas enam.
Keputusan terbaru untuk melarang mahasiswa perempuan menghadiri institut medis dan pendidikan tinggi, katanya, dapat memiliki "implikasi mematikan" bagi seluruh populasi dengan melumpuhkan sistem kesehatan Afghanistan.
"Saya telah mendesak otoritas de facto untuk mempertimbangkan kembali keputusan ini," ujarnya.
Meskipun tantangan besar, Otunbayeva melaporkan adanya beberapa kerja sama dengan otoritas Afghanistan, termasuk akses kemanusiaan ke seluruh negeri dan diskusi tentang hak asasi manusia serta inisiatif pemulihan ekonomi.
"Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) juga telah mengadakan diskusi dengan otoritas de facto dan sektor swasta tentang pembiayaan mikro. Tujuannya adalah untuk menciptakan gerakan keuangan mikro nasional yang membuka akses keuangan bagi masyarakat yang terjebak dalam kemiskinan, terutama bagi perempuan wirausaha yang sangat penting untuk pemulihan ekonomi Afghanistan," jelasnya.
Ia juga menyoroti isu yang lebih luas, termasuk pembatasan terhadap media yang, menurutnya, "melemahkan kemampuan jurnalis dan pekerja media untuk berfungsi sebagai pilar masyarakat yang berinformasi, inklusif, dinamis, dan berkembang."
Tom Fletcher, Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, menggambarkan Afghanistan sebagai "krisis kemanusiaan yang mengejutkan."
"Ekonomi sangat rapuh. Hampir setengah populasi hidup dalam kemiskinan," katanya kepada Dewan, seraya menambahkan bahwa layanan dasar semakin tertekan.
"Satu dari tiga warga Afghanistan mengalami ketidakamanan pangan. Tingkat malnutrisi sangat tinggi dan terus meningkat," ujarnya, menekankan bahwa Afghanistan adalah "krisis kemanusiaan terbesar kedua di dunia, setelah Sudan."
Fletcher juga mengungkapkan kekhawatiran tentang larangan baru terhadap perempuan Afghanistan, termasuk larangan menghadiri institut medis, yang dapat berdampak parah pada sistem kesehatan.
"Instruksi ini dapat menyebabkan kerusakan serius dan berkepanjangan pada layanan kesehatan bagi perempuan dan anak perempuan Afghanistan," katanya memperingatkan.
Ia mendesak adanya peningkatan pendanaan, dukungan untuk mengurangi campur tangan dalam bantuan kemanusiaan, serta investasi dalam layanan utama.
Dengan menyatakan bahwa rakyat Afghanistan "tidak berhenti memperjuangkan hak, kebebasan, dan masa depan mereka," Fletcher menyerukan dukungan internasional yang berkelanjutan.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Pasukan Pakistan dan Afganistan bentrok di perbatasan
Baca juga: PBB sebut pembahasan isu HAM dengan Taliban berlangsung 'konstruktif'
Penerjemah: Primayanti
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2024