MK tentu akan menganalisa terkait daerah mana saja yang bermasalah. Kemudian memunculkan alat bukti dan lainnya untuk mencermati apakah benar benar kecurangan di suatu daerah tersebut bisa dibuktikan

Surabaya (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Haidar Adam menganalisa gugatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, Tri Rismaharini-KH Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) terkait sengketa Perselisihan Hasil Pilkada (PHP) 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"MK tentu akan menganalisa terkait daerah mana saja yang bermasalah. Kemudian memunculkan alat bukti dan lainnya untuk mencermati apakah benar benar kecurangan di suatu daerah tersebut bisa dibuktikan," ujarnya dalam keterangan diterima di Surabaya, Jumat,.

Menurutnya, kalau memang terjadi kecurangan, maka MK biasanya akan memerintahkan untuk pemungutan suara ulang. Dan, misal, harapan dari pemohon terjadi pemungutan ulang terus mungkin suaranya beralih ke mereka semua ya itu tidak tentu juga karena banyak variabel lain yang mempengaruhi.

Menurut Haidar gugatan Risma-Gus Hans ke MK tergolong cukup berat. Sebab, ada selisih suara lebih dari 5 juta antara Risma-Gus Hans dengan paslon suara terbanyak yang ditetapkan oleh KPU Jatim.

"Ada ketentuan di dalam UU pilkada yang memang syaratnya ada margin persentase suara tertentu untuk tiap-tiap wilayah. Itu ditentukan oleh besaran atau populasi yang berada di wilayah-wilayah tersebut, dalam hal ini Jawa Timur kalau tidak salah selisihnya tidak lebih dari 105 ribu suara," ujarnya.

Dia mengatakan dalam hukum acara, ketentuan mengenai margin semacam itu nanti akan diputuskan bersama-sama dengan pokok permohonan. Artinya, ke depan MK akan mempertimbangkan hal itu, juga mempertimbangkan bersama-sama dengan fakta-fakta lain yang mungkin nanti akan diajukan oleh para pemohon.

Jadi kalau 5 juta itu sangat banyak, menurut saya secara kuantitatif itu sangat banyak dan cukup susah juga kecuali memang dalil kecurangan TSM itu bisa dibuktikan.

Baca juga: PDI Perjuangan dalilkan TSM Pilkada Jatim dan Jateng

Haidar mengatakan gugatan-gugatan perselisihan hasil Pilkada di MK banyak kaitannya dengan tudingan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). TSM, kata Haidar harus bisa dibuktikan dengan bukti yang konkret dan nyata, bukan sekadar lisan atau pengakuan-pengakuan seseorang dalam sidang.

"Mahkamah Konstitusi itu juga harus memenuhi keadilan substantif. Artinya kalau kecurangan yang TSM bisa dibuktikan, maka MK juga bisa memberikan putusan untuk melakukan pemungutan suara ulang. Cuma memang dalam praktiknya, hal semacam itu cukup susah," ujarnya.

"Makanya memang aturan batas ambang margin dalam sebuah gugatan. Hal itu dimaksudkan supaya sengketa kepala daerah atau pemilihan umum pada umumnya itu bisa berjalan lebih efisien. Jadi kalau memang katakanlah bisa dibuktikan memang ada kecurangan tapi kemudian marginnya tidak cukup, itu kan buang-buang waktu, buang-buang anggaran juga. Karena tidak akan berpengaruh dalam hasil akhir daripada perhitungan suara itu," tambahnya.

Dia menjelaskan di titik ini memang kita harus melihatnya sebagai demokrasi. Bahwa dalam demokrasi ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah.

"Dan makanya kemudian mekanisme yang dibuat didesain memastikan perjalanan demokrasi itu bisa berjalan dengan baik dan fair," lanjutnya.

Lebih lanjut kata Haidar, jika dalam proses persidangan tidak bisa membuktikan adanya kecurangan, maka sudah sepantasnya paslon yang kalah untuk legawa mengucapkan selamat.

Pewarta: Willi Irawan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024