Surabaya (ANTARA News) - Geolog dari ITS Surabaya Dr Amien Widodo menduga sumur minyak dan gas dari proses pengeboran yang tidak tuntas atau dari kawasan Cekungan (migas) Jawa Timur Utara yang menjadi pemicu semburan api dan lumpur di Ngawi.

"Semburan itu berasal dari gas biogenik atau gas methan (CH4), namun kalau melihat tingginya semburan disertai lumpur mungkin ada pemicu lain dari sumur bor," katanya kepada Antara di Surabaya, Rabu.

Menurut dia, kemungkinan sumur bor itu dari proses pengeboran yang tidak tuntas atau dari kawasan Cekungan Jatim Utara yang kaya migas (pantura barat, pantura timur, Madura, Laut Jawa) itu perlu kajian untuk memastikannya.

"Yang jelas, semburan gas methan yang mudah terbakar di Ngawi itu keluar tidak jauh dari semburan awal tahun 2013 dan kejadian semburan api itu ternyata sudah sering terjadi di Ngawi," katanya.

Bahkan, kalau dilihat sejarahnya memang tidak hanya di Ngawi, tapi juga terjadi di Tuban, Surabaya, Gresik, Madura, dan sebagainya.

Tidak hanya itu, semburan gas liar yang lebih tepat disebut rembesan gas rawa itu juga sudah sering terjadi di sawah penduduk di berbagai daerah di Indonesia.

"Itu sebenarnya merupakan fenomena geologi yang umum. Gas yang keluar berupa gas methan yang merembes dari kantong-kantong atau poket-poket gas biogenik yang terbentuk dari bekas rawa-rawa atau sungai purba," katanya.

Gas biogenik itu sangat akrab dengan kehidupan manusia karena sangat umum ditemukan dimana saja di permukaan bumi itu. Umumnya tidak berbau, mudah terbakar, dan bertekanan rendah.

"Schoell (1988) menyebut tiga proses utama terbentuknya gas biogenik yakni proses fermentasi bakteri anaerobik pada sampah, kotoran ternak atau sejenisnya (biogas methan/biomasa)," katanya.

Proses lainnya, proses fermentasi bakteri asetat pada lapisan sedimen yang kaya zat organik (gas charged sediment), dan proses reduksi CO2 oleh bakteri dari batuan vulkanik atau magmatik

"Penelitian ESDM menyebutkan bahwa sejak tahun 1990-an telah menemukan sumber-sumber gas biogenik yang cukup signifikan dan terperangkap pada lapisan sedimen laut dangkal Holocene (berumur kurang dari 10.000 tahun yang lalu)," katanya.

Pada umumnya, gas biogenik yang ditemukan pada sumur-sumur penduduk di kawasan pesisir ataupun dari lubang bor dangkal memperlihatkan bahwa tekanan gas ini relatif rendah (2-3 Kg/m2) dan merupakan aliran rembesan gas melalui pori-pori atau rekahan tanah.

"Kalau ditemukan kemunculan rembesan gas biogenik yang bertekanan tinggi dan menyemburkan api, air atau lumpur maka di perlukan kajian tentang adanya kemungkinan tekanan tambahan sebagai pemicu naiknya tekanan gas," katanya.

Ia menambahkan kajian itu penting karena banyak dijumpai bahwa rembesan/semburan gas biogenik ini terjadi di sekitar sumur-sumur pengeboran migas.

"Ada dugaan bahwa tidak sempurnanya sistem casing lubang bor mengakibatkan bocornya tekanan yang selanjutnya memicu gas biogenik naik ke permukaan. Jika gas biogenik ini bercampur dengan gas petrogenik maka rembesan gas mempunyai tekanan yang relatif tinggi dan disertai dengan keluarnya lumpur," katanya.

Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014