Puji Tuhan saya masih bisa bersosialisasi, bisa diterima dan belajar di sanggar, setelah ini saya ingin mandiri."
Jakarta (ANTARA News) - Keringat mengucur dari sekujur tubuh pria berjaket dengan mata cekung dan kantung matanya nyaris menghitam. Pergelangan tangannya yang bertato itu nampak gemetar ketika membakar rokok di parkiran motor Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta.

Perlahan ia menghisap rokoknya melewati bibirnya yang kering dan menghembuskannya ke udara dengan tergesa-gesa. Sebagian giginya kuning, sebagian lainnya sudah menghitam.

"Setelah 15 tahun akhirnya saya enggak pakai lagi," kata Bob kemudian menyeka keringat yang mengalir di leher dan membasahi kerah jaketnya.

Bob adalah salah satu pasien RSKO yang sudah lepas dari jerat narkoba yang membelenggunya sejak pertama kali menggunakan putaw pada 1998.

"Awalnya saya mencoba putau itu dari teman saya, tepatnya bulan puasa tahun 1998," kenang Bob.

Bob mengaku saat itu terjebak dalam lingkungan pertemanan yang buruk. Sejak kelas satu SMP sudah menghisap ganja, setahun kemudian dia sudah akrab dengan putaw.

"Semua dilakukan bersama-sama, membelinya pun patungan uang jajan," katanya.

Bob mengatakan menghisap ganja sudah menjadi menu sehari-hari bila berkumpul dengan teman-temannya. Kala itu mengonsumsi obat terlarang menjadi gaya hidup menyimpang yang dilakukan remaja dengan alasan mencari sensasi, memupuk rasa percaya diri, dan pelarian atas masalah di rumah mereka.

Sensasi yang didapatkan dari ganja membuatnya ingin mencoba narkoba jenis lain yang dianggap memiliki sensasi lebih dahsyat.

"Saya sempat heran mengapa waktu itu tiba-tiba ada yang memberikan putaw, mungkin itu jebakan dan bodohnya saya kecanduan," kata Bob.

Bob mengatakan harga putaw yang tidak sesuai dengan uang saku siswa SMP membuatnya harus patungan bersama teman, memakai uang bayaran sekolah, atau menjual benda dari rumah orangtuanya.

Orangtua yang bercerai tidak menyadari perilaku menyimpang Bob di luar rumah hingga pada 2001 guru kelas Bob menemukan putaw di dalam tasnya.

"Orangtua saya tahu saya pemakai setelah tiga tahun saya kecanduan, itu pun karena ketahuan guru kelas," katanya.

Kendati dalam pengawasan orangtua, Bob mengaku masih bisa mendapatkan barang haram tersebut dari teman-temannya.

Bob tetap mengonsumsi barang haram tersebut sampai ia nyaris over dosis pada awal 2003. Keadaannya kian memburuk membuat Bob tidak bisa meneruskan sekolah karena menjalani pengobatan di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan.

"Tahun 2003 sampai 2007 itu saat paling menyakitkan dalam hidup, rasanya ingin mati, rasanya ingin mengiris urat nadi, rasanya ingin menyalahkan semua orang yang ada dalam hidup saya," kata Bob kemudian membakar rokoknya lagi.

Bob mengatakan dalam proses pengobatan candu tersebut peran orangtuanya sangat penting dalam membatasi komunikasi antara Bob dan teman lamanya.

"Mama enggak pernah absen mengantar saya berobat, jika tidak diawasi mungkin saya sudah mati over dosis di tangan teman saya yang ternyata anak buah bandar," katanya.

Setelah tahun 2007 Bob sudah mampu menahan candunya meskipun tetap menggunakan terapi obat pengganti dengan dosis yang diawasi secara ketat oleh rumah sakit.

Bob mengatakan saat itu dorongan menggunakan narkoba selalu muncul namun melihat ketekunan orangtuanya selama bertahun-tahun mengobati membuatnya selalu urung mencari narkoba lagi.

Nasib kawan lamanya yang menghabiskan waktu di balik jeruji membuat Bob semakin matang untuk lepas dari jerat serbuk haram tersebut.

Pada 2011 Bob akhirnya lepas dari jerat narkoba namun ia tetap menjalani terapi psikiatri di RSKO hingga kondisi emosinya stabil.

"Yang tersisa adalah gangguan emosi dalam diri saya yang masih suka ngamuk tapi sebenarnya saya merasa sangat paranoid sama orang-orang di sekeliling saya," katanya.

Narkoba tidak saja membuat bob kehilangan masa remaja, kepercayaan orangtua, dan tidak tamat SMA, lebih dari itu narkoba juga menyisakan gangguan emosi yang membuat Bob menjadi pemarah.

Namun sejak lepas dari jerat narkoba Bob mencoba menyibukan diri dengan mengikuti sanggar teater dan musik untuk mengalihkan emosinya menjadi energi untuk produktif dan kreatif.

"Puji Tuhan saya masih bisa bersosialisasi, bisa diterima dan belajar di sanggar, setelah ini saya ingin mandiri," katanya.


Dukungan Keluarga

Direktur Utama Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta Laurentius Panggabean mengatakan dukungan keluarga sangat membantu proses pengobatan karena 60 persen pecandu narkoba bermula dari pergaulan remaja.

"Banyak dari mereka yang datang ke sini dan terobati karena dorongan keluarga," kata Laurentius di RSKO Cibubur, Jakarta, Jumat (12/9).

Ia memaparkan 95 persen pasien ketergantungan obat berada di usia produktif yakni 25 sampai 44 tahun.

"Sebanyak 95 persen dari mereka berada di usia produktif dan 60 persen dari mereka yang terjerumus bermula dari iseng atau coba-coba menggunakan obat terlarang," katanya

Ia menjelaskan dari total 197 pasien yang ditangani RSKO pada Agustus 2014, 189 di antaranya berusia 25 sampai 44 tahun sementara delapan orang di usia 15 sampai 24 tahun.

Semakin dini keluarga mendeteksi, kata dia, semakin besar kemungkinan sembuh karena tingkat candu mungkin belum terlalu mengkhawatirkan.

Maka dari itu Laurentius memaparkan beberapa ciri pengguna narkoba yang bisa dideteksi keluarga.

Pertama, pengguna narkoba umumnya berperilaku boros karena harga narkoba cukup mahal apalagi jika dikonsumsi secara rutin.

Kedua, kurang tidur menjadi salah satu indikator pengguna narkoba karena zat yang terkandung di dalamnya membuat otak bekerja lebih aktif.

Ketiga, percaya diri yang berlebihan dan seolah memiliki energi yang tidak pernah habis karena beberapa jenis narkoba memacu kerja jantung namun di sisi lain jika efek obatnya habis pecandu menjadi sangat kelelahan bahkan bisa tidur berhari-hari.

Keempat, mata keruh dan badan lusuh sebagai efek penggunaan obat terlarang dalam jangka waktu panjang yang menggangu fungsi hati.

Kelima, emosi yang meluap-luap dan cenderung sensitif. Satu sisi dia bisa sangat bergembira namun di sisi lain mereka depresi dan bisa menyakiti diri sendiri.

Keenam, rasa ketakutan yang tidak wajar terhadap lingkungannya. Para pengguna narkoba mudah merasa curiga dan paranoid seolah merasa terancam dengan kehadiran orang-orang di sekelilingnya.

Ketujuh, kehidupan sosial di sekolah atau tempat kerja memburuk.

Kendati pasien ketergantungan obat terlarang sulit disembuhkan namun Laurentius mengatakan tetap ada peluang untuk sembuh total meskipun jarang dan umumnya tidak bisa diperkirakan lama durasi pengobatannya.

"Ada yang sembuh total tanpa pakai obat lagi, ada juga yang menggunakan metode subtitusi sampai bertahun-tahun," katanya.

Laurentius menjelaskan umumnya pasien pecandu obat akan diberikan terapi subtitusi yakni mengganti obat terlarang dengan obat jenis lain yang penggunaannya tidak membuat pasien semakin candu.

"Terapi subtitusi adalah mengganti obat yang mempunyai sifat tidak semakin sering candu, hanya satu kali sehari sampai stop total," katanya.

Laurentius yang juga mantan Direktur Medik dan Keperawatan RSJ Soeharto Heerdjan berharap keluarga yang ingin mengobati pecandu obat terlarang menggunakan jalur medis karena sudah terbukti bisa menyembuhkan daripada membawa ke alternatif.

"Banyak bekas pasien saya yang menghabiskan puluhan juta di tempat alterlatif tetap tidak sembuh, percayalah dengan standar medis," katanya.

Ia mengatakan jika pecandu dan keluarga bersabar selama proses penyembuhan dan tetap mematuhi aturan penggunaan obat maka kecanduan obat bisa terobati. (*)

Oleh Alviansyah Pasaribu
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014