Jakarta (ANTARA) - Indonesia Fintech Society (IFSoc) mendorong pembentukan inisiatif universal fraud database untuk semakin mempersempit ruang gerak pelaku kecurangan atau fraudster dalam industri jasa keuangan.

“Dengan berkembangnya transaksi dan berkembangnya jenis-jenis produk yang sifatnya hybrid dan sebagainya, kita perlu universal fraud database yang lebih luas untuk mempersempit ruang gerak fraudster,” kata Anggota Steering Committee IFSoc Tirta Segara dalam press briefing secara daring di Jakarta, Kamis.

Tirta mengatakan bahwa universal fraud database memungkinkan lembaga jasa keuangan (LJK) untuk melakukan pengecekan terlebih dahulu untuk memastikan apakah calon peminjam tercatat sebagai fraudster atau tidak.

IFSoc juga mendorong pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) untuk dapat lebih berperan dalam mempersempit ruang gerak fraudster. Apalagi, mengingat setiap PUJK sebenarnya memiliki catatan profil fraudster (pelaku penipuan).

“Ini (data fraudster) harus dikumpulkan menjadi satu universal database yang akan di-refer untuk setiap transaksi yang akan dilakukan oleh pelaku usaha itu,” kata Tirta yang juga merupakan Anggota Dewan Komisioner OJK periode 2017-2022.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah memfinalisasi peraturan tentang Sistem Informasi Pelaku (SIPELAKU). Tirta menyambut positif langkah tersebut dan mendorong untuk dapat segera diimplementasikan.

Menurut IFSoc, keberadaan database mengenai informasi fraudster sangat penting untuk meminimalisir kerugian yang dialami oleh industri jasa keuangan itu sendiri.

“Tapi ini masalahnya nanti kembali kepada Perlindungan Data Pribadi (PDP). Nanti mungkin perlu dipertegas saja, bahwa datanya harus bisa diakses. Dan kalau diakses dia (fraudster) tercatat di situ, dia tidak akan dapat memperoleh pinjaman atau melakukan transaksi lagi di situ,” kata Tirta.

IFSoc juga mengapresiasi berbagai langkah yang dilakukan OJK dan Bank Indonesia (BI), seperti peluncuran inisiatif OJK Indonesia Anti Scam Center (IASC) dan Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (GENCARKAN), serta inisiatif BI berupa pedoman teknis penundaan transaksi terduga fraud dan Gerakan Bersama Perlindungan Konsumen (GEBER PK).

“Inisiatif yang ada sudah sangat tepat untuk memerangi fraud,” ujar Tirta.

Ia menambahkan bahwa kolaborasi antara regulator, industri, dan masyarakat menjadi kunci utama untuk mempersempit ruang gerak fraudster.

“Kolaborasi antara regulator dan industri perlu ditingkatkan, dengan inisiatif seperti IASC dan pedoman teknis seperti Ketentuan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (KASPI),” kata Tirta.

Baca juga: IFSoc dorong aturan turunan UU PDP segera dirampungkan

Baca juga: IFSoc: Perlu kejelasan posisi SRO pasca-ambil alih pengawasan kripto

Baca juga: Perlu kebijakan komprehensif bagi pindar guna tutupi gap kredit UMKM

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024