...saya bilang, bukan soal bahannya yang mahal tetapi tenaga orangnya yang mahal."
Jakarta, (ANTARA News) - Di kios samping Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, berjejer mobil-mobilan kayu berbagai bentuk.
Siang itu, pemilik kios, Marsa' ad alias Umar (73), terlihat masih cekatan mengukir kayu untuk mobil mainan yang sedang di buat.
Umar mengaku usaha mobil-mobilan kayu itu dia awali tahun 1997.
Ketika itu dia bekerja sebagai penjaga rumah.
"Saya coba membuat kincir-kincir dan mobil, kemudian saya titip di penjual-penjual yang berada di sepanjang jalan Kalibata. Eh ternyata banyak yang berminat," kata Umar.
Dia lalu mengembangkan berbagai mobil-mobilan kayu. Setahun kemudian, kiosnya sudah berdiri di samping rumah yang dia jaga.
Harga yang ditawarkan oleh Umar berkisar dari Rp30 ribu-Rp125 ribu permobil.
"Anak-anak juga masih banyak yang suka, sehari saya bisa menjualnya 30 mobil," kata Umar.
Dari usaha membuat mainan itu, dia bisa membiayai lima anaknya kuliah. Mereka kini sudah mandiri.
"Saya tidak kaya, tetapi cukuplah untuk membiayai kehidupan keluarga," kata Umar, kelahiran Serang Banten yang kini tinggal hanya dengan sang istri.
Hari itu dia sedang menyelesaikan bus mainan Transjakarta. Umar mengaku fisiknya untuk membuat mobil-mobilan tersebut tidak sekuat dahulu.
Pembicaraan terhenti sejenak ketika ada pembeli yang tertarik dengan mainan Transjakarta.
"Saya butuhnya seperti ini 50," kata pembeli. Umar dan calon pembeli kemudian tawar menawar.
Umar juga menjalin kerja sama dengan 30 pengrajin di Jakarta, Kerawang dan Bekasi.
"Saya cukup memberikan contoh dan bentuk dari mobil yang dipesan atau yang akan di jual, kemudian mereka yang membuatnya," katanya.
Suatu kali ia ikut dalam pameran tentang industri kreatif yang diselenggarakan pemerintah.
Pesanan pun berdatangan dari dalam maupun luar negeri.
"Kami sampai kewalahan, dari luar negeri mintanya lebih dari 700 mobil, kami menyerah," ujarnya.
Produknya pernah dipesan ke Belanda dan Australia. Menurut Umar, ia pernah mengekspor dari 400 bajaj mainan.
Tapi, ekspor produknya berakhir ketika terjadi teror bom di Bali (2002) dan Jakarta (2003).
"Semenjak itu udah gak ada turis yang datang ke toko saya."
Hal lain yang dia kenang adalah pernah diminta oleh Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) untuk membuat sado, kereta uap, trem, dan truk.
Harga yang dia patok Rp 1.250.000 untuk ukuran 1,5 m.
"Mereka kaget karena biayanya gede banget, tapi saya bilang, bukan soal bahannya yang mahal tetapi tenaga orangnya yang mahal," kata Umar.
Kini hasil buatannya tersebut dipajang di Museum transportasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Menurut dia, pembuatan dengan menggunakan tangan membutuhkan waktu dan tenaga lebih.
"Satu bus atau bajaj 15 x 10 cm perlu waktu pembuatan dua hari," katanya.
Ia mengharapkan pemerintah bisa membantu modal untuk membeli alat-alat yang lebih moderen.
"Selain Pemerintah, semoga aja ada Investor yang mau bekerja sama dengan saya, untuk mengembangkan usaha saya ini," ujar Umar.
Ia juga berkeinginan agar ia bisa menurunkan keterampilannya tersebut terhadap anak-anaknya. sayangnya tak ada satupun dari kelima anaknya tersebut yang bisa mewarisi keterampilan Umar.
"Anak-anak saya tak ada yang berjiwa seni," ujarnya
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014