Jakarta (ANTARA) - JDIH atau Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum sejatinya merupakan wadah yang memfasilitasi dokumentasi dan penyebaran informasi hukum. JDIH bertujuan menyediakan akses yang lebih baik terhadap informasi hukum bagi masyarakat, termasuk peraturan perundang-undangan dan produk hukum lainnya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas dan transparansi informasi hukum.

Keberadaan JDIH merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan ketatapemerintahan yang baik, bersih, dan bertanggung jawab untuk memenuhi tuntutan masyarakat atas dokumen dan informasi hukum yang dibutuhkan.

Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012 (Perpres 33/2012) tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 4 ayat (3), menjadi pijakan hukum adanya pengelolaan dokumen hukum pada Kementerian Negara, Sekretariat Lembaga Negara, Lembaga Pemerintahan Non Kementerian, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Selain itu JDIH harus dikelola oleh perpustakaan hukum pada perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta serta Lembaga lain yang bergerak di bidang pengembangan dokumentasi dan informasi hukum yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Pertanyaannya, apakah Badan Usaha Milik Negara atau BUMN sebagai badan usaha atau perusahaan yang dimiliki seluruh atau sebagian besar oleh negara melalui penyertaan langsung, dapat melakukan pengelolaan dokumentasi hukum dalam kerangka JDIH ini?

Ini penting untuk dijawab paling tidak karena dua hal. Pertama, JDIH dipandang sebagai beranda dan sosialisasi keterbukaan, sehingga ketentuan yang diterbitkan oleh BUMN perlu juga disampaikan melalui JDIH. Hal itu didasari anggapan bahwa BUMN yang memiliki kewajiban pengungkapan informasi publik, sebagaimana termaktub dalam Pasal 14 UU Nomor 14 tahun 20018 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Untuk itu, dalam pandangan ini, adalah sebuah keniscayaan mengekspresikan keterbukaan ketentuan peraturan internal BUMN tersebut dalam wadah JDIH.

Kedua, BUMN sebagai agen pembangunan dan role model dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik perlu membuka ketentuan internalnya, sehingga dapat diketahui dan dipahami pihak eksternal atau masyarakat luas.

Kedua argumen tersebut tentu memerlukan jawaban yang tuntas dan jelas. Pendekatan yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan di atas, dan anggapan yang mendasarinya, dapat menggunakan pendekatan, yang penulis sebut tinjauan formalistik dan substantif.

Tinjauan Formalistik

Dari sisi ketentuan formal, yakni perspektif Perpres 33/2012 sebagai aturan utama JDIH, ternyata tidak ada pasal dalam Perpres tersebut yang mewajibkan BUMN melakukan pengelolaan dokumentasi hukum. Perpres 33 tersebut, khususnya dalam Pasal 3 huruf (a) menyatakan bahwa aturan ini ditujukan untuk menjamin terciptanya pengelolaan dokumentasi dan informasi hukum yang terpadu dan terintegrasi di berbagai instansi pemerintah dan institusi lainnya.

Jadi, target utama pengelolaan JDIH ini adalah instansi pemerintah. Memang disebutkan adanya “institusi lainnya” dalam pengelolaan JDIH tersebut. Institusi lainnya tersebut menurut penulis dapat dibagi menjadi “institusi lain definitif”, yang pada Pasal 4 ayat (3) tersebut secara terang-benderang diidentifikasi sebagai “perpustakaan hukum pada perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta”. Ada pula “Institusi lain yang tidak definitif”, yakni “Lembaga lain yang bergerak dalam pengembangan dokumentasi dan informasi hukum yang ditetapkan oleh Menteri (dalam hal ini Menteri Hukum)”. Jadi harus ada instrumen ketetapan Menteri Hukum untuk menentukan “lembaga lainnya” yang dapat diwajibkan mengelola JDIH dengan syarat tertentu yakni harus bergerak dalam pengembangan dokumentasi dan informasi hukum.

Kalau dilihat dari perspektif tersebut, keberadaan BUMN jelas tidak bisa dikategorikan sebagai “Lembaga Lain”, apalagi lebih disempitkan ruang lingkupnya sebagai “yang bergerak dalam pengembangan dokumentasi dan informasi hukum”. Hal itu karena BUMN adalah sebuah korporasi dan bergerak dalam lini bisnis tertentu.

Dalam kerangka dokumentasi dan informasi hukum, BUMN tunduk kepada UU Nomor 43 Tahun tahun 2009 tentang Kearsipan. Dalam UU Kearsipan tersebut, kewajiban BUMN lebih dititikberatkan pada pendokumentasian atau mengelola arsip, termasuk arsip dokumentasi hukum, yang harus dilakukan dengan baik dan sistematis. Di samping itu, dalam kerangka pengarsipan, BUMN harus memastikan keamanan arsip, mengatur pengaksesan dan penggunaan arsip dan melakukan pemusnahan arsip yang tidak digunakan lagi.

Perspektif kearsipan tersebut lebih menitikberatkan pada aspek “dokumentasi”, bukan pada informasi hukum. Kalau bicara “informasi hukum” yang dikaitkan dengan BUMN, maka impresi yang muncul adalah sosialisasi atau “keterbukaan publik”. Dalam UU Keterbukaan Publik, terdapat 14 macam kewajiban BUMN (dan juga BUMD), antara lain: nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta jenis kegiatan usaha, jangka waktu pendirian, dan permodalan, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar hingga pergantian akuntan dan mekanisme pengadaan barang dan jasa.

Kalau dilihat dari kaca mata hukum, maka muatan dalam 14 macam informasi publik itu bisa jadi tidak “dikemas” dalam sebuah format ketentuan perusahaan. Dari 14 macam informasi tersebut, yang dapat “diturunkan” menjadi peraturan di tingkat BUMN yang bersangkutan dan oleh karena itu ditetapkan oleh direktur utama BUMN, adalah mekanisme penetapan direksi dan komisaris/dewan pengawas, pedoman pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran, dan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Kalau diperhatikan, informasi publik yang wajib dilaksanakan BUMN tersebut berada dalam “wilayah tata kelola korporasi” dan “ketentuan yang terkait pihak eksternal atau mitra bisnisnya”.

Jadi, kalaulah BUMN wajib mengemukakan informasi publiknya dalam bentuk ketentuan peraturan perusahaan, maka itu tidak diterapkan untuk semua ketentuan. Harus dilakukan penyusunan peraturan secara terpilih, mengingat BUMN adalah sebuah korporasi yang memiliki “kepentingan tersendiri”. Apalagi dalam UU Keterbukaan Informasi Publik tersebut, terdapat ketentuan mengenai informasi yang dikecualikan, termasuk untuk korporasi BUMN yang harus dilindungi dalam persaingan tidak sehat yang dapat terjadi bilamana semua informasi hukum BUMN dibuka kepada publik.

Dapat diambil kesimpulan, bahwa dari sisi muatan informasi, ketentuan dokumentasi hukum korporasi BUMN yang dapat disampaikan ke publik harus dipilih-pilah secara selektif. Karenanya, tidak bisa dengan alasan transparansi, tata kelola dan role model sebagai agen pembangunan, semua ketentuan internal korporasi BUMN secara “serampangan” dapat dibaca oleh publik.

Tinjauan Substantif

Dalam dataran substantif, sebenarnya proses utama yang dilakukan melalui media JDIH, yakni pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, pelestarian dan pendayagunaan informasi Dokumen Hukum merupakan hal yang bisa “ditiru” oleh BUMN. Ini harus dilihat secara pragmatis, berguna bagi BUMN. Hal tersebut mengingat kondisi BUMN dan anak perusahaan BUMN yang umumnya memiliki cabang di seluruh daerah Indonesia, bahkan ada yang lokasinya remote.

Agar semua ketentuan internal perusahaan dapat dengan mudah dibaca dan dipahami oleh seluruh karyawan BUMN sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas sehati-hari, maka keberadaan media seperti JDIH merupakan keharusan. Namun itu harus dilakukan dalam platform teknologi informasi yang hanya ditujukan untuk pengguna internal perusahaan. Hal ini misalnya telah dimiliki oleh beberapa perusahaan BUMN atau anak perusahaan BUMN. Semisal PT Pegadaian yang memiliki platform yang dinamai “Be Comply” yang diluncurkan di penghujung bulan Januari 2024.

Untuk ketentuan internal korporasi BUMN yang bersifat publik atau yang dapat dibuka dan dibaca umum, dapat dilakukan melalui JDIH Kementerian BUMN. Jadi BUMN tidak perlu membuat platform teknologi informasi seperti JDIH, cukup melalui JDIH Kementerian BUMN. Ini dapat menjadi solusi terbaik dalam penayangan peraturan internal korporasi BUMN yang bersifat publik tersebut, karena memang tidak ada posisi legal BUMN membuat platform JDIH. Cara ini secara ekonomis juga lebih efisien, mengingat pembuatan website semacam JDIH memerlukan dana yang cukup besar, apalagi untuk memeliharanya keberlangsungannya secara baik.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, sejak pertengahan 2024, JDIH Kementerian BUMN telah mengembangkan website JDIH dengan memberikan tambahan fitur “Peraturan tentang BUMN”. Fitur ini dapat digunakan oleh BUMN untuk menyampaikan peraturan BUMN yang memiliki kewajiban untuk diketahui oleh publik. Di tahun 2025 nanti, Kementerian BUMN telah dicanangkan upaya menggalakkan jumlah peraturan internal BUMN yang bersifat publik di website JDIH Kementerian BUMN, sehingga dapat mendukung peningkatan kualitas pembangunan hukum serta pelayanan kepada publik secara optimal.

*) Rudi Rusli adalah Koordinator UU3 Kementerian BUMN dan Doktor Manajemen Stratejik Universitas Trisakti

Copyright © ANTARA 2024