Jakarta (ANTARA News) - Piringan hitam di dalam pikiran banyak orang identik dengan barang antik yang diputar dengan alat bernama gramophone.

Meski demikian, teknologi yang ditemukan oleh Thomas Alva Edison pada 1877 ini kembali digandrungi anak muda. Mereka ingin mendengarkan suara yang jernih dan detail dari setiap instrumen musik musisi kesukaan mereka, untuk itu piringan hitam menjadi pilihan mereka pecinta high-fidelity atau Hi-Fi (perekaman dan pemancaran suara yang detail).

Alvi Iftikhar (24) adalah salah satu pemuda yang tertarik mengoleksi piringan hitam sejak 2010.

Saat ini ia bekerja sebagai CG Artist dan videographer di sebuah rumah produksi. Koleksinya kini berjumlah 100 lebih.

"Album pertama yang aku beli adalah tiga album pertama Pavement, Guided by Voices- Alien Lanes, Slowdive - Souvlaki. Itu musisi-musisi kesukaanku," katanya sambil mengenang.

Dari deretan koleksinya dapat ditebak bahwa Alvi penyuka musik indie. Ia mengatakan dirinya bukan tipe pemburu piringan hitam cetakan pertama, dia membeli yang disuka saja. Untuk mendapatkan album incarannya Alvi berburu plat hingga ke Malaysia dan Singapura.

"Television - Marquee Moon itu album yang paling kucari-cari. Aku ketemunya di toko kaset di Singapura, memang kualitasnya udah agak kurang tapi bodo amat aku emang suka banget sama album ini dan kaget banget pas nemu. Oia, ada satu yang pas nemu bahagia banget, album Talking Head - Remain In Light. Nemunya di pasar loak di Malaysia pula," katanya antusias.

Alat anlog ini pada awalnya memutar cakram dengan kecepatan 78 RPM yang terbuat dari shellac yang rapuh dan gampang pecah. Oleh sebab itu dalam perkembangannya piringan hitam dibuat dari plastik polivinil klorida yang lebih lentur dan tidak gampang rusak. Karena bahan plastik itulah maka piringan hitam disebut juga vinyl.

Memang untuk mendengarkan musik hi-fi sebenarnya tidak melulu harus dari piringan hitam. Format CD juga banyak dibuat dalam 24 bit yang kualitasnya sudah baik. Ia mengaku tidak terlalu mengerti beda detail antara audio format lain dan piringan hitam.

"Aku suka artwork albumnya yang besar, aku gak terlalu yakin sama "audio superiority" vinyl dibanding dengan medium lain, kalau piringan hitam terdengar lebih wah bisa saja itu sugesti," katanya sambil tertawa.

Namun bagi Alvi ada beberapa perlakuan yang berikatan saat memutarnya, dan hal itu yang membuat Alvi jatuh cinta kepada piringan hitam.

"Perlu ada sedikit usaha untuk mendengarkan piringan hitam. Ambil LP, buka pemutarnya, taruh di turn table, jatuhin jarumnya, nungguin side A abis terus balikin. Pokoknya persaan itu tidak akan di dapat pada bentuk lain," katanya.

Satu lagi yang membuat ia jatuh cinta kepada piringan hitam adalah saat memburunya.

"Ada satu lagi kenapa aku suka piringan hitam, beberapa album yang kupunya sebelumnya belum pernah kudengar sama sekali dalam format digital terus nemu platnya, karena penasaran aku beli. Ternyata albumnya bagus, wah perasaannya gak ada yang ngalahin, itu sih yang aku rasa udah ilang dijaman sekarang, spontanitas," katanya antusias.

Alvi mengurut albumnya secara alfabet, sebenarnya ia ingin meniru film Hi-Fidelity dalam menyusun platnya.

"Plat disusun sesuai kronologi yang di beli, kalau mau nyari Let It Be misalnya, harus ingat tahun berapa dibeli," katanya.

Sepertinya piringan hitam mempunyai ikatan batin dengan pemiliknya pada setiap album yang dibeli karena perjuangan untuk mendapatkannya.


Menangkap peluang bisnis

Senin sore di lantai basement Blok M Square terlihat muda-mudi membongkar tumpukan piringan hitam yang berdiri tegak di dalam kotak. Mereka teliti dalam memilih dan melihat piringan hitam tersebut. Salah satunya Ernest Omar Syarif, siswa kelas XII yang baru ingin memulai bermain piringan hitam.

"Teman-teman banyak yang mengoleksi dan aku juga suka musik, makanya aku kepingin koleksi juga. Tapi aku belum punya, ini juga lagi mau beli pemutarnya tapi belum ada yang cocok," katanya sambil membolak-balik plat.

Mendengarkan piringan hitam menjadi tren di kalangan anak muda lima tahun belakangan ini membuat harganya kian melambung.

"Mungkin imbas dari luar negeri tren 4-5 tahun yang lalu orang mulai bosen dengan rilisan fisik yang hanya CD. Kemudian diangakat lagi ke dalam media piringan hitam. Manusia suka sama hal yang baru," kata Agus Susanto, kolektor piringan hiringan hitam.

Agus setidaknya mengoleksi 700 piringan hitam. Berangkat dari hobinya ini ia juga telah membuka toko musik dan mendirikan perusahaan rekaman.

"Perusahaan rekaman tidak menjadi fokus utama, buat selingan saja. Saya merilis ulang dalam bentuk piringan hitam karena artis-artis pernah merilis album mereka dalam bentuk CD dan kaset," katanya.

Artis yang telah diriliskan piringan hitam oleh Agus seperti Suri, Abbhama, Oracle, Marcel Tee. Dalam merilis ulang ia melihat permintaan pasar. Ia merilis album tersebut di Prancis karena tidak ada perusahaan yang mencetak piringan hitam di Indonesia.

Segemen pendengar piringan hitam memang lebih sempit dibandingkan pendengar dari mp3, cd atau pun kaset. Oleh sebab itu ia hanya merilis album yang benar-benar layak.

"Merilis album dalam prirngan hitam modal lumayan besar. Keuntungannya sih tipis karena modalnya besar dan jumlah yang dicetak sedikit. Ya, lebih untuk kesenangan aja dan kepuasan sendiri," katanya.

Brandon Tobing adalah salah satu pemuda yang tertarik berbisnis piringan hitam. Diawali dengan hobinya mengoleksi piringan hitam sejak 2011 akhir, ia tertarik untuk berbisnis piringan hitam yang dimulai pada awal 2014 secara online bersama dua orang temannya.

"Gue melihat permintaan orang akan plat di Jakarta lagi tinggi banget, gua pikir kenapa gak selain buat hobi gue coba bisnis aja. Ternyata peluangnya cukup gila karena banyak peminatnya, sebenarnya karena ini bisnis hobi gue gak ngeliat keuntungannya tapi ternyata untung banget bisa menghidupi," kata Brandon.

Pangsa pasar yang dibidik Brandon dan teman-temannya adalah orang-orang yang baru seperti mahasiswa dan siswa SMA. Untuk mendapatkan plat baru ia mengimpor,dan yang bekas ia mencari dari kolektor dan dari teman-temannya.

Ia dan teman-temannya memfokuskan pada musik yang langka seperti musik dari tahun 90-an, indie pop, britpop dan shoegaze.

"Plat yang kita jual memang susah dicari dan mahal dari supplier-nya, jadi kalau kita jual mahal karena memang dari sananya sudah mahal," katanya di depan toko yang menjadi tempat jualannya pertengahan Agustus.

Sekeping plat yang dijual brandon normalnya berharga 300--700 ribu. Semakin langka plat harganya juga semakin mahal seperti album Suede - Head Music dijual dengan harga 1,2 juta rupiah.

Brandon melihat bahwa musisi-musisi saat ini merasa industri MP3 mulai mengancam.

"Musisi sekarang sadar ancaman besar yang bisa mematikan karya sendiri, dengan adanya mp3 banyak orang tinggal download gratis. Sekarang banyak artis baru ngerilis piringan hitam sebagai bentuk melawan industri MP3," katanya.

Selain ingin mengoleksi piringan hitam ada juga orang yang hanya ingin menginginkan sampulnya saja. Salah satu pedagang piringan hitam di Jalan Surabaya mengatakan banyak anak muda yang mencari sampulnya buat pajangan.

"Ada yang nawar hanya beli sampulnya, katanya buat pajangan. Tapi gak saya kasih, karena suatu saat kalau saya nemu piringan hitam yang masih bagus tapi sampulnya jelek bisa saya ganti dengan yang bagus," katanya sambil menunjukkan sebuah sampul Nate King Cole yang piringan hitamnya sudah jelek.

Hukum ekonomi berlaku pada pasar piringan hitam saat ini, semakin banyak permintaan dan jumlah barang terbatas maka harganya pun akan meningkat.
(SDP-66/KWR)

Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014