Jakarta (ANTARA) - Pengetahuan adat di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem, serta semakin mendapat pengakuan dalam konteks kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, memiliki ribuan komunitas adat yang menyimpan pengetahuan lokal yang berharga. Pengetahuan ini tidak hanya terkait dengan cara hidup, tetapi juga dengan cara mengelola alam secara berkelanjutan.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pengetahuan adat sering kali diabaikan atau diekstraksi tanpa memberikan penghargaan yang sesuai kepada pemiliknya.
Pengetahuan adat merujuk pada pengetahuan, praktik, dan nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat adat dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam di sekitar mereka.
Pengetahuan ini mencakup cara-cara tradisional dalam bertani, berburu, menangani kebakaran hutan, serta pengelolaan air dan tanah. Di Indonesia, pengetahuan ini terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan ekologis di berbagai wilayah, meskipun sering kali tidak diakui dalam kebijakan nasional yang lebih luas.
Sebagai contoh, di wilayah Kalimantan, suku Dayak memiliki sistem adat yang telah lama mengatur penggunaan dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang pola pertumbuhan tanaman, dan mengetahui kapan dan bagaimana menggunakan api untuk membersihkan lahan tanpa merusak ekosistem hutan secara keseluruhan.
Sistem ini terbukti efektif dalam mengurangi kebakaran hutan yang menjadi masalah besar di Indonesia, terutama selama musim kemarau.
Sayangnya, ketika kebijakan pembangunan di Indonesia lebih fokus pada ekspansi industri dan eksploitasi sumber daya alam, sistem pengelolaan hutan yang berbasis adat ini sering kali terpinggirkan.
Istilah "extractivisme" mengacu pada praktik pengambilan sumber daya alam secara besar-besaran untuk keuntungan kapitalis tanpa memperhatikan keberlanjutan atau hak-hak masyarakat yang terdampak.
Dalam konteks Indonesia, extractivisme tidak hanya terbatas pada eksploitasi sumber daya alam seperti minyak, gas, dan tambang, tetapi juga termasuk eksploitasi pengetahuan adat yang tidak diberikan penghargaan yang sesuai.
Salah satu contoh nyata extractivisme dalam konteks masyarakat adat adalah eksploitasi kebudayaan dan pengetahuan lokal untuk kepentingan pariwisata. Masyarakat adat di Bali, Toraja, dan suku Dayak sering kali menjadi objek pariwisata yang menggambarkan kehidupan mereka sebagai "eksotis" dan "primitif".
Pengetahuan mereka tentang pertanian organik, sistem pertanian ramah lingkungan, dan seni budaya, sering kali digunakan tanpa memberikan manfaat langsung kepada mereka.
Pada kenyataannya, sebagian besar pendapatan dari sektor pariwisata ini tidak kembali ke masyarakat adat. Fenomena ini menggambarkan ketidakadilan dalam hubungan antara masyarakat adat dan negara serta sektor industri.
Selain itu, sektor pertambangan yang berkembang pesat di Indonesia di banyak kasus justru meminggirkan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka. Proyek pertambangan besar yang dimiliki oleh perusahaan asing mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Sering kali operasi tambang tersebut merusak tanah dan hutan yang telah dikelola secara adat selama ratusan tahun.
Salah satu contoh kasusnya adalah proyek tambang di wilayah Kalimantan dan Papua, yang sering kali menyebabkan konflik antara masyarakat adat dan perusahaan tambang, yang merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi tanah tersebut. Meskipun ada undang-undang yang memberikan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat, implementasi undang-undang tersebut masih lemah, dan masyarakat adat tidak mendapatkan kompensasi yang adil.
Keberlanjutan lingkungan
Pengetahuan adat bukan hanya soal cara-cara tradisional yang ketinggalan zaman, tetapi juga merupakan solusi konkret untuk masalah lingkungan yang semakin mendesak, seperti perubahan iklim dan kerusakan ekosistem. Dalam beberapa tahun terakhir, pengetahuan adat telah mendapatkan perhatian lebih karena semakin jelasnya dampak buruk dari eksploitasi alam yang tidak terkendali.
Sebagai contoh, praktik agroforestry yang dilakukan oleh masyarakat adat di Papua, yang menggabungkan pertanian dan kehutanan secara berkelanjutan, dapat menjadi model bagi kebijakan pertanian berkelanjutan.
Selain itu, sistem irigasi yang dikembangkan oleh masyarakat adat di Bali dan daerah lainnya di Indonesia juga terbukti dapat mengurangi penggunaan air secara berlebihan dan menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini semakin relevan mengingat Indonesia menghadapi masalah krisis air yang serius akibat deforestasi dan perubahan iklim.
Berdasar data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), deforestasi Indonesia mencapai sekitar 1,08 juta hektare pada tahun 2021, yang sebagian besar disebabkan oleh konversi hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan. Salah satu solusinya adalah dengan mengadopsi praktik-praktik pengelolaan hutan yang berbasis pada pengetahuan adat.
Pada 2022, KLHK menginisiasi program kemitraan dengan masyarakat adat untuk mengelola sekitar 13 juta hektar hutan adat, sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi laju deforestasi.
Memperkuat pengetahuan adat
Pengakuan terhadap pengetahuan adat dalam kebijakan publik di Indonesia harus didorong dengan berbagai langkah konkret.
Pertama, pemerintah harus menciptakan kebijakan yang memperkuat hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam mereka. Ini termasuk pemberian sertifikat hak atas tanah ulayat bagi masyarakat adat yang saat ini belum diakui.
Pemberian hak akses atas sumber daya alam yang mereka kelola secara tradisional akan memberi mereka kewenangan lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, serta mencegah eksploitasi yang tidak adil.
Kedua, kebijakan pengelolaan hutan dan sumber daya alam harus berbasis pada pendekatan yang inklusif, yang melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan dan pelaksanaan. Salah satu contohnya adalah program "Hutan Desa" yang diluncurkan pada tahun 2014.
Program ini memberikan kesempatan bagi masyarakat adat dan desa untuk mengelola hutan mereka sendiri, sekaligus memberikan insentif ekonomi bagi mereka untuk melestarikan alam. Program ini telah memberikan dampak positif di beberapa wilayah, seperti di Kalimantan Tengah dan Papua, yang dapat dijadikan contoh bagi kebijakan lainnya.
Ketiga, dalam sektor pariwisata, pemerintah perlu mendorong pengelolaan pariwisata yang lebih berkelanjutan dan memberi penghargaan yang adil kepada masyarakat adat. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan kebijakan yang memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh dari pariwisata kembali ke masyarakat adat, serta mengatur praktik pariwisata agar tidak merusak budaya dan lingkungan mereka.
Pendekatan berbasis masyarakat ini dapat mengurangi dampak negatif pariwisata dan membantu pelestarian budaya dan lingkungan adat.
Masyarakat adat Indonesia telah lama mengembangkan sistem pengelolaan yang seimbang antara alam dan manusia, yang terbukti efektif dalam menjaga keberlanjutan ekosistem. Kebijakan publik yang menghargai dan melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sangat penting untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan.
Dengan mengintegrasikan pengetahuan adat dalam kebijakan dan praktik pengelolaan alam, Indonesia dapat mengurangi kerusakan lingkungan dan menghadapi tantangan perubahan iklim dengan lebih efektif.
*) Dr.Aswin Rivai,SE.,MM adalah Pemerhati Ekonomi dan Sosial serta Dosen FEB UPN Veteran Jakarta
Copyright © ANTARA 2025