Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Gonda Yumitro mengatakan bahwa penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dapat memperkuat prinsip kedaulatan rakyat.
Prof. Gonda juga mengatakan bahwa penghapusan presidential threshold dapat mengurangi potensi polarisasi politik yang kerap muncul akibat pemilihan umum dengan dua pasangan calon, seperti pada saat penyelenggaraan pemilu sebelumnya.
“Dengan putusan ini, pemilu di Indonesia juga diharapkan lebih mengedepankan asas keadilan dan inklusivitas, dan memberikan kesempatan lebih besar kepada partai politik dengan level apa pun untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” kata Prof. Gonda saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.
Oleh sebab itu, dia menyatakan bahwa putusan MK tersebut menjadi sejarah penting dalam reformasi demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, dia mengatakan bahwa terdapat tantangan besar yang harus diantisipasi pihak-pihak terkait, yakni peluang munculnya banyak pasangan calon, sehingga kampanye dan konsensus politik pasca-pemilu akan menjadi lebih sulit.
Menurut dia, mekanisme pembatasan jumlah calon dengan syarat tertentu diperlukan agar stabilitas proses demokrasi dapat terjaga, sehingga putusan MK tersebut tetap membawa manfaat nyata dalam proses demokrasi di Tanah Air.
“Oleh karena itu, revisi Undang-Undang Pemilu, dan pengaturan teknis lanjutan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa proses pencalonan presiden dan wakil presiden tetap efektif, adil, dan tidak membingungkan pemilih. Apalagi di tengah masyarakat Indonesia yang secara budaya politik relatif masih rendah,” ujarnya.
Kemudian untuk partai politik, dia mengingatkan agar perlu berupaya meningkatkan literasi politik masyarakat, sehingga mereka dapat aktif terlibat dan melakukan kontrol politik.
Dia juga mengingatkan agar partai politik tetap menjalankan proses internal yang efektif dan transparan, sehingga menghasilkan kandidat yang terbaik.
Sebelumnya (2/1), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penghapusan tersebut diatur dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.
MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.
Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.
Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
Pewarta: Rio Feisal
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025