Jakarta (ANTARA) - Saat ini ada polemik yang sedang ramai di masyarakat yaitu wacana sekolah diliburkan selama sebulan saat Ramadhan oleh Kementerian Agama RI.
Berbagai pendapat yang pro dan kontra mengiringi perdebatan ini. Penulis menyetujui ide ini asal prinsipnya mengembalikan pendidikan agama kepada orang tua dan lingkungan sekitar anak tersebut.
Pendidikan agama untuk anak memang sebaiknya tidak diserahkan melulu ke pihak sekolah. Orang tua dan lingkungan harus memiliki agenda yang tepat bagi pendidikan agama selama sebulan penuh beribadah puasa.
Sejatinya sekolah hanya sebagian kecil ruang belajar bagi anak. Sebagian besar waktu anak justru dihabiskan di rumah atau di tempat lain di luar sekolah. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika orang tua dan lingkungan sekitar turut terlibat dalam memberikan pendidikan agama bagi anak-anak.
Wacana libur sekolah selama bulan Ramadhan sudah pernah diberlakukan di masa lalu. Jadi bukanlah suatu persoalan baru di negara ini. Artinya, wacana ini bukanlah bentuk mengistimewakan dominasi mayoritas, umat Islam dalam hal ini. Agenda pendidikan agama yang dimaksud bisa diberlakukan kepada semua agama. Jadi warga non-muslim pun perlu memiliki jadwal yang pasti selama sebulan itu.
Intinya, harus ada kerja sama antara orang tua dengan pihak sekolah. Jangan sampai orang tua yang menyerahkan tanggung jawab pendidikan agama pada sekolah justru kebingungan menyusun agenda pembelajaran bagi anaknya. Perlu ada langkah antisipasi agar tidak terjadi anak yang tidak berpuasa, justru memanfaatkan waktu libur ini untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan kontra produktif.
Kembali ke khittah
Pemberlakuan libur sekolah di Bulan Ramadan bukanlah hal baru. Tercatat pada era Kolonial Belanda, siswa sekolah tingkat dasar (HIS) dan menengah (HBS dan AMS) mendapatkan libur satu bulan penuh selama Ramadhan.
Lalu, Presiden Soekarno menghentikan kegiatan formal dan informal selama Ramadhan untuk meningkatkan konsentrasi umat Muslim dalam berpuasa. Terakhir Gus Dur (Abdurrahman Wahid) meliburkan sekolah selama sebulan penuh pada Ramadhan 1999 dan menyosialisasikan kegiatan "pesantren kilat".
Sejumlah negara memberlakukan libur sekolah pada Ramadhan. Di Pakistan, sekolah-sekolah sering kali diliburkan selama bulan Ramadhan, terutama pada minggu terakhir menjelang Idul Fitri. Kebijakan ini memungkinkan siswa untuk fokus pada ibadah dan kegiatan keagamaan.
Di Mesir, sekolah juga umumnya mendapatkan libur selama bulan Ramadhan, meskipun durasi dan waktu libur dapat bervariasi tergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Arab Saudi menerapkan libur sekolah selama bulan Ramadhan, memberikan waktu bagi siswa untuk beribadah dan mengikuti kegiatan keagamaan.
Tanggung jawab pendidikan agama pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang tua. Sejak awal, anak mendapatkan pendidikan rohani dari orang tua. Saat lahir, sang Ayah diminta meng-adzan-kan anaknya saat muncul ke dunia.
Selanjutnya Ayah dan Ibu mengajarkan anak berdoa pendek untuk segala aktivitas keseharian seperti makan, tidur, atau keluar rumah. Jadi wajar, tanggung jawab pendidikan agama bagi anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Wacana ini harus sependapat dan sepengertian antara Kementerian Agama dan lembaga lain, bisa DPR, Kemendagri, Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemenpan RAB, serta lembaga terkait lainnya. Jangan sampai antar-lembaga tidak berkesesuaian dalam membahas persoalan ini. Jangan sampai ide baik ini berlarut-larut justru membingungkan orang tua dan anak.
Jadi, materi selama sebulan anak-anak diliburkan harus dibincangkan dan didiskusikan antara orang tua dan pihak sekolah. Jangan sampai keduanya memiliki cek kosong, artinya, tidak memiliki agenda yang jelas terkait pendidikan agama bagi anak selama sebulan.
Agenda pendidikan tersebut harus berimbang antara teori dan praktek dan yang lebih penting lagi, jangan sampai anak merasa terbebani belajar agama di rumah bersama orang tuanya.
Sesekali anak bisa diminta ke sekolah untuk menjalani program berpuasa di sekolah, biasanya diistilahkan dengan Pondok Ramadhan, dengan kurikulum Pondok Ramadhan dirancang bersama oleh orangtua dan pihak sekolah.
Siswa non-muslim diberikan materi agama sesuai dengan agama yang dianut. Khusus bagi siswa muslim, bisa diberikan materi berupa Akidah, Muamalah, Syariah, baik teori maupun praktek. Bagi siswa non-muslim, bisa menyesuaikan dengan materi selama sekian hari.
Agenda ke depan
Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk menjawab permasalahan pendidikan agama bagi anak selama liburan. Satu, mendiskusikan masalah ini dengan melibatkan lembaga yang terkait. Semua harus melihat hal ini dari berbagai sudut pandang. Tidak bisa persoalan ini dilihat secara parsial.
Dua, orang tua perlu berbesar hati untuk menyediakan waktunya bagi penyusunan materi pendidikan agama bagi anak. Kedua orang tua bisa saling bersinergi untuk menyusun materi teori dan praktik pendidikan agama selama sebulan. Jika mereka kebingungan, bisa berkonsultasi dengan guru sekolah.
Tiga, pihak sekolah harus terbuka pada apapun konsultasi yang diminta pada orang tua berkaitan dengan pendidikan agama. Keterbukaan ini bisa dilakukan lewat berbagai media apapun baik face to face (tatap muka), melalui media sosial, telepon, email, atau WhatsApp sekalipun.
*) Yayan Sakti Suryandaru adalah Dosen Departemen Komunikasi-FISIP Universitas Airlangga Surabaya
Copyright © ANTARA 2025