Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Adrianus Eliasta Meliala menyebutkan ada tiga langkah untuk mencegah pembunuhan akibat pinjaman daring atau online (pinjol).

Langkah pertama, kata Prof. Adrianus, adalah edukasi. Edukasi diperlukan agar seseorang dapat menilai kemampuan melunasi dan menghindari ketidakmampuan membayar pinjaman atau mismatch.

"Jadi, Pemerintah perlu memberikan edukasi agar orang itu selalu mencari keseimbangan pengeluaran dan penerimaan," kata Prof. Adrianus saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis.

Langkah kedua, lanjut dia, Polri bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat membuat sebuah indikator peringatan bila seseorang dinilai tidak dapat diberikan pinjaman.

"Ketiga, tentu terhadap mereka yang berusaha untuk melakukannya, artinya pihak-pihak seperti pinjol, gitu ya, yang memiliki niat buruk sengaja menjebak orang, sengaja menjerumuskan orang agar berada dalam situasi mismatch itu ya tentu perlu ada tindak pidana, perlu dipidanakan, perlu diberi sanksi itu,” ujarnya.

Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa Polri dapat mengusut hal tersebut sebagai bentuk penegakan hukum terhadap layanan pinjol yang sengaja memberikan pinjaman kepada seseorang yang tidak layak diberikan pinjaman.

"Semua orang berusaha agar orang ini tidak menjadi makin terjerumus pinjol, eh kok malah ada orang yang membiarkan, malah menjerumuskan orang? Nah, jadi menurut saya, niat jahatnya sudah ada, mens rea-nya sudah terjadi,” jelasnya.

Baca juga: Polisi ungkap motif bunuh diri satu keluarga di Tangsel

Baca juga: Kriminolog: Perlu langkah preventif cegah pembunuhan akibat pinjol

Sementara itu, dia memandang bahwa kasus seperti pembunuhan dan bunuh diri yang terjadi terhadap satu keluarga di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten, pada tanggal 15 Desember 2024 merupakan contoh studi kasus dari teori ketegangan atau strain theory.

"Jadi, ketika ada orang yang melakukan pembunuhan gara-gara pinjol dan seterusnya, atau bunuh diri dalam rangka pinjol dan seterusnya, itu boleh kita bilang sebagai orang yang mengalami strain (ketegangan, red.) dan memiliki solusi agresif," ujarnya.

Karena memiliki solusi agresif, kata dia, seseorang memutuskan membunuh dan bunuh diri. Namun, kalau memiliki solusi regresif, menjadi depresi, stres, hingga gila.

"Mengapa bunuh diri dikatakan sebagai agresif? Karena bunuh diri adalah tindakan intensional, tindakan yang dilakukan untuk bunuh, untuk mati. Jadi, mesti ada tindakannya dahulu," jelasnya.

Ia melanjutkan, "Dalam rangka bertindak, itu tidak semua orang berani. Harus ada keberanian, bahkan harus ada keagresivitas agar orang bisa membunuh diri sendiri."

Sebelumnya, Kapolsek Ciputat Timur Kompol Kemas Arifin di Tangerang Selatan, Selasa (7/1), mengungkapkan hasil penyelidikan kasus yang menimpa tiga orang dalam satu keluarga di Cirendeu pada tanggal 15 Desember 2024. Diketahui motif kematiannya terkait dengan utang pada pinjol.

Berdasarkan hasil visum forensik, kata dia, suami berinisial AF (31) membunuh istri berinisial YL (28) dan anaknya, AAH (3). Kemudian, AF melakukan gantung diri hingga meninggal.

Pewarta: Rio Feisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025