Nusa Dua (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berbagi kisah tentang kesuksesan pelaksanaan pemilihan umum presiden baru-baru ini dalam Forum Demokrasi Bali (BDF) VII di Nusa Dua, Bali, Jumat, mengakui bahwa penerapan demokrasi bukanlah hal yang mudah.

"Pemilihan umum tidak mudah dilaksanakan. Itu melelahkan, rumit, mahal, memecah belah dan bahkan emosional ... Tidak ada yang mengatakan bahwa demokrasi itu mudah," kata Presiden dalam acara tahunan yang dihadiri tiga kepala negara sahabat itu.

Namun, lanjut dia, ketika nanti presiden baru dilantik, Indonesia telah membuktikan pada rakyatnya dan masyarakat dunia jika mampu melakukan transfer kekuasaan secara damai dan konstitusional.

Ia kemudian menjelaskan bahwa sekitar 135 juta rakyat Indonesia telah turut ambil bagian dalam salah satu proses pemilihan umum terbesar di dunia yang melibatkan 500 juta bilik suara untuk memilih lebih dari seribu anggota parlemen serta presiden dan wakil presiden itu.

Ia mencatat kesuksesan penyelenggaraan pemilu di Indonesia itu sebagai satu dari sejumlah keberhasilan transfer kekuasaan dengan damai di dunia, antara lain Aljazair, Brazil, Fiji, India, Iran, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Turki.

Namun, menurut Presiden, di tengah sejumlah keberhasilan pelaksanaan pemilu di dunia tersebut, dunia juga dihadapkan pada situasi yang sulit dengan memburuknya hubungan di antara negara-negara maju. Ia merujuk pada kasus di Ukraina yang melibatkan negara-negara maju dan sengketa di Asia Timur.

"Kita juga menjadi saksi transisi demokrasi yang tidak mulus, terutama di Timur Tengah," katanya merujuk pada Mesir, Irak, Tunisia dan Libya.

Oleh karena itu, ia berharap BDF dapat terus tumbuh dan berkembang serta menawarkan pengalaman-pengalaman terbaik dalam pelaksanaan demokrasi bagi negara-negara di dunia.

Acara tahunan yang telah digelar sejak 2008 itu kali ini dipimpin bersama oleh Presiden Yudhoyono dan Presiden Filipina Benigno Simeon Aquino III.

Dua kepala pemerintahan yang secara rutin menghadiri acara tersebut, yaitu Sultan Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah dan PM Timor Leste Kay Rala Xanana Gusmao juga hadir dalam BDF terakhir yang dibuka oleh Presiden Yudhoyono --yang akan mengakhiri masa jabatannya pada 20 Oktober.

Terkait kelanjutan forum yang ditujukan sebagai forum untuk meningkatkan kerjasama regional dan internasional di bidang pemajuan demokrasi yang bersifat inklusif dengan pendekatan saling bertukar pengalaman terbaik masing-masing negara dalam proses berdemokrasi itu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan keputusan tersebut merupakan kewenangan dari pemerintahan baru yang dipimpin Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Menurut Marty, pihaknya tidak ingin berandai-andai mengenai kelanjutan BDF sekalipun ia meyakini forum tersebut semakin banyak diminati oleh berbagai negara, tidak hanya negara di kawasan Asia-Pasifik, tetapi juga di kawasan lainnya.

"Kita tidak bisa melihat sesuatu seperti di bola kristal karena apa yang akan terjadi besok saja kita tidak tahu. Tetapi kenyataannya BDF ini sudah menjadi bagian dari tatanan demokrasi dalam kawasan. Banyak negara yang juga merasakan manfaatnya," ujarnya.

Oleh karena itu, Menlu berharap pemerintahan yang akan datang dapat memilah-milah hal yang baik dan memperbaiki hal yang kurang baik dalam forum demokrasi tahunan tersebut, bila memang akan dilanjutkan.

Pada kesempatan itu, ia juga mengatakan bahwa forum tingkat menteri itu dihadiri setidaknya 85 perwakilan negara-negara sahabat.

Pewarta: GNC Aryani
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014