Padang (ANTARA News) - LBH Pers Padang dan Jaringan Pemantau Untuk Kebebasan Berekpresi didukung Yayasan TIFA menyatakan pentingnya revisi UU ITE karena selama ini multi tafsir dan berpotensi mengancam demokrasi bangsa.

Direktur LBH Padang, Roni Saputra melalui siaran pers LBH Padang, di Padang, Kamis, mengatakan dalam konteks pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, besarnya pengguna internet telah melahirkan banyak peluang untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat, dalam laporannya internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai HAM.

Selain itu, melalui melalui internet juga dapat memberantas ketidakadilan, dan mempercepat pembangunan dan kemajuan manusia.

Karena itu, memastikan akses universal terhadap internet harus menjadi prioritas bagi semua negara, katanya.

Ia menyebutkan sinyalemen ini dikuatkan dengan resolusi 20/8 yang dikeluarkan oleh Dewan HAM PBB pada Juli 2012 tentang "the promotion, protection and enjoyment of human rights on the internet", yang menempatkan akses internet sebagai bagian dari HAM.

Lalu, dewan HAM PBB juga menegaskan bahwa perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, juga melekat saat mereka online.

Perlindungan ini khususnya terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi, yang berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Sementara itu, UUD 1945 hasil amandemen kedua, yang disahkan pada 18 Agustus 2000 juga memuat tiga ketentuan yang secara khusus dan eksplisit memberikan jaminan perlindungan bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.

Ia menjelaskan ketiga pasal tersebut antara lain Pasal 28 yang mengatur tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, Pasal 28E ayat (3) yang mengatur tentang Hak Setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Kemudian Pasal 28 F yang mengatur tentang Hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Namun jika dilihat konteks lokal, ancaman kebebasan berekspresi bagi pengguna internet dan media sosial masih menjadi momok menakutkan dan berpotensi mengekang kebebasan berekspresi masyarakat.

Ia mengatakan berdasarkan data yang diperoleh LBH Pers Padang dan Jaringan Pemantau Untuk Kebebasan Berekpresi, telah terjadi 8 (kasus) kasus yang terkait pelanggaran terhadap UU ITE di Sumatera.

Banyaknya kasus-kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE (terutama pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE , tidak terlepas dari persoalan yang terdapat pada rumusan pada kedua pasal pada UU ITE tersebut, sebutnya.

Rumusan delik dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang tidak jelas, menjadikan kedua pasal ini "sangat lentur" sebagai alat kriminalisasi terhadap kebebasan bereskpresi dan mengancam demokrasi bangsa.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,".

Ia menjelaskan maksud pembuat Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidaklah jelas, misalnya terkait dengan apa itu mentransmisikan, mendistribusikan dan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak terjawab.

Dengan menggunakan metode penafsiran otentik, yaitu metode penafsiran pertama yang harus dilakukan dalam memahami isi hukum, karena penjelasan pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya menyatakan "cukup jelas".

Hal sama juga dapat kami lihat dalam Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2), Pasal ini tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan informasi, yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atau suku, agam, ras, dan antar golongan (SARA).

Ia mengatakan ketidakjelasan rumusan delik pada Pasal 27 (3) jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan prinsip dasar rumusan delik hukum pidana yang selain harus tertulis (lex scripta) juga harus jelas, tidak boleh multi tafsir (lex certa) dan harus ketat dan tidak memberikan kemungkinan untuk ditarik ulur (lex stricta).

Karena itu, jaringan pemantau untuk kebebasan berekpresi dibentuk untuk mengetahui intensitas kasus-kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi di Sumatera dengan tugas-tugas, yakni melakukan pemantauan dan pengumpulan data, membuat Alert Monitoring dan melakukan advokasi terhadap kasus-kasus yang terjadi di Sumatera.

Lalu dokumentasi terhadap kasus-kasus kebebasan berekspresi di wilayah Sumatera akan menjadi basis utama advokasi kebebasan berekspresi melalui review UU ITE dan upaya mendorong dukungan publik untuk advokasi kebebasan berekspresidi Indonesia, katanya. (H014/R021)

Pewarta: Hendra Agusta
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014