Jakarta (ANTARA News) - Mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor dan Institut Teknologi Bandung menampilkan rupa-rupa hasil modifikasi pangan dalam pameran Food Ingredients Asia 2014 yang berlangsung di Jakarta International Expo pada 15-17 Oktober 2014.

Mahasiswa jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan IPB memamerkan produk agar-agar jeli dengan campuran lidah buaya yang mengandung vitamin C, rosela yang mengandung anti-oksidan, dan daun Stevia yang kandungan gulanya tidak merusak gigi.

Mereka juga membuat tempe dengan campuran sayuran seperti wortel dan pepaya muda yang disebut Rainbow Tempe atau Tempe Pelangi.

"Kita buat tempe tapi dengan campuran sayuran berwarna, sehingga tempenya lebih menarik dan kandungan gizinya juga bertambah," kata Ella Nandasari dari jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.
 
Selain meningkatkan kandungan gizi, ia menjelaskan, modifikasi makanan juga menambah nilai jual produk. Sebagian pengunjung menyukai produk yang mereka hasilkan.

"Tadi banyak yang sudah datang untuk bertanya-tanya, lalu memberi masukan juga. Terus setelah mencoba makanannya ternyata banyak yang suka," kata Ferdiansyah, yang memamerkan jeli dengan paduan bahan alami.

Sementara mahasiswa ITB mengolah alpukat menjadi minyak alternatif pengganti minyak zaitun.

Menurut Thomas Ryanaldo, salah satu penggagas pembuatan minyak tersebut, temuannya bisa digunakan untuk bahan kosmetik atau campuran makanan.

"Walaupun harganya tidak semahal minyak zaitun, tapi kandungan zat dan kadar minyaknya lebih tinggi," kata mahasiswa jurusan teknik kimia ITB itu.

Menurut dia, kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak alpukat mencapai 90 persen sedang minyak zaitun hanya mengandung sekitar 80 persen asam lemak tak jenuh.

Selain itu, Thomas melanjutkan, minyak alpukat memiliki smoke point lebih tinggi dibandingkan minyak zaitun sehingga bisa digunakan sebagai minyak goreng.

"Itu suatu kondisi dimana minyak mengeluarkan asap ketika dipanaskan. Jika berasap maka kandungan gizinya rusak, sedangkan minyak alpukat titik asapnya tinggi sehingga bisa memasak dengan suhu lebih panas," katanya.

Ia menambahkan, alpukat juga lebih tersedia di pasar dan harganya lebih terjangkau di Indonesia.

"Zaitun kan tidak bisa tumbuh di Indonesia, jadi harus impor. Sedangkan alpukat tumbuhan tropis, bisa ditanam dengan mudah di sini," kata mahasiswa berkacamata itu.

Thomas dan timnya akan terus mengembangkan produksi minyak alpukat supaya bisa lebih efektif dan bisa digunakan secara luas oleh masyarakat. Saat ini usaha mereka masih terkendala ketersediaan alat yang mampu memproduksi minyak alpukat dalam jumlah besar dalam waktu singkat.

Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014