Jakarta (ANTARA) - Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan menyatakan bahwa pihaknya berupaya untuk menyelesaikan pengubahan polis agar sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 83/PUU-XXII/2024 secara bertahap mulai bulan depan.

Putusan MK Nomor 83/PUU-XXII/2024 terkait perkara Pengujian Materiil Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) melarang perusahaan asuransi untuk melakukan pembatalan polis secara sepihak.

“Antisipasinya (terhadap Putusan MK) itu penyesuaian (polis) aja sesegera mungkin, tidak bisa ditunda, kita kerja terus, target saya satu bulan bertahap nanti,” kata Budi Herawan usai acara Sosialisasi Putusan MK Nomor 83/PUU-XXII/2024 dan Implikasinya terhadap Industri Asuransi Umum di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan bahwa polis-polis yang ditargetkan dapat diselesaikan pengubahannya pada Februari mendatang adalah polis-polis yang disusun dan diterbitkan oleh AAUI.

Sementara untuk polis-polis yang diterbitkan oleh entitas usaha asing yang berkantor pusat di luar negeri, tapi turut dijual di Indonesia melalui anak usaha maupun perusahaan patungan, ia menuturkan bahwa diperlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan penyesuaiannya karena dibutuhkan koordinasi lebih lanjut.

“Polis-polis yang bukan milik kami, kami komunikasikan sama yang penerbitnya, pemiliknya, kami sudah bangun komunikasi karena kan polis itu nanti dasar hukumnya bukan di tempat diterbitkannya, misalnya di UK (Inggris), atau di Swiss, atau di Munich (Jerman), tapi kan yurisdiksinya pakai Indonesia,” jelas Budi.

Dewan Pengawas AAUI Kornelius Simanjuntak menyarankan agar ada perubahan nama pada formulir evaluasi risiko nasabah asuransi dari Surat Permohonan Penutupan Asuransi (SPPA) menjadi Surat Permohonan Asuransi Umum (SPAU).

Ia juga menyarankan agar dalam preambul maupun syarat dan ketentuan polis tidak ada lagi kalimat yang menggunakan frasa ‘pembatalan polis’.

Hal tersebut, kata Kornelius, karena pembatalan polis kini harus dilakukan sesuai kesepakatan kedua pihak atau dengan putusan pengadilan.

Ia pun mendorong agar dalam preambul maupun syarat dan ketentuan polis turut ditekankan terkait itikad baik dan kejujuran pemegang polis.

“Jadi, kita ini penanggung (perusahaan asuransi) ini jangan terlalu mudah percaya dengan keterangan pihak tertanggung (nasabah) semata, namun keterangan informasi dari tertanggung seharusnya didukung dengan bukti lain yang dapat meyakinkan pihak penanggung mudah memitigasi risiko yang akan timbul,” imbuhnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengucapan Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 dalam perkara Pengujian Materiil Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pada 3 Januari lalu.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa norma Pasal 251 KUHD yang dimohonkan oleh pemohon inkonstitusional bersyarat.

“Menyatakan norma Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, ‘termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan’,” ucap Ketua MK Suhartoyo.

Pasal 251 KUHD menyatakan, ‘Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal’.

Baca juga: OJK minta industri perbaiki perjanjian polis, merespons putusan MK

Baca juga: AAUI sebut perlu sesuaikan ulang aturan dalam polis usai putusan MK

Baca juga: OJK minta industri asuransi jaga kesehatan penuhi penjaminan polis

Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025