"Setiap Presiden Pasti Berbuat yang Terbaik Bagi Indonesia"

Kalimat tersebut terpahat di prasasti yang terletak tidak jauh dari pintu masuk Museum Kepresidenan Republik Indonesia Balai Kirti yang berada di kompleks Istana Bogor.

Apa yang terjadi jika seorang pemimpin tidak memberikan yang terbaik? Mungkin sebuah negara yang gagal.

Museum Balai Kirti yang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disebut sebagai wadah untuk membingkai prestasi para presiden dalam membangun bangsa sehingga dapat menjadi rujukan historis dan inspirasi bagi generasi penerus.

Balai Kirti diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pekan terakhir pemerintahannya.

Pemilihan nama Balai Kirti yang berasal dari dua kata "Balai" yang berarti bangunan dan "Kirti" yang berasal dari bahasa kuno dan Sansekerta yang mengandung arti amal utama atau tindakan yang membawa kemasyhuran, kiranya sudah mencerminkan bagaimana museum tersebut merepresentasikan para presiden.

Kisah enam presiden --Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono-- dapat dijumpai oleh para pengunjung di museum tersebut.

Tepat di pintu masuk, para pengunjung akan disambut dengan lambang negara Garuda Pancasila dengan teks proklamasi di sisi kanan dan teks Pancasila di sisi kiri sebelum kemudian bertatap muka dengan patung enam presiden yang diletakkan berjajar di atas kolam yang berada tepat di antara dua pintu masuk ke museum lama di kompleks Istana Bogor.

Untuk sementara museum itu tampaknya didesain untuk mewadahi enam presiden walaupun dalam pidato peresmiannya Presiden Yudhoyono menyampaikan harapan agar para presiden selanjutnya terus melengkapi dan memuntakhirkan museum tersebut.

Kisah Enam Presiden

Museum Balai Kirti itu sendiri terdiri dari tiga lantai, lantai pertama adalah "Galeri Kebangsaan", lantai kedua "Galeri Kepresidenan" dan lantai ketiga berupa taman terbuka.

Galeri Kebangsaan menyajikan Naskah Proklamasi, Lambang Negara Burung Garuda, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Selain itu, di Galeri Kebangsaan terdapat peta digital yang menggambarkan sejarah perkembangan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, patung presiden dan ruang audio visual yang akan menayangkan film-film terkait dengan peristiwa dan prestasi para presiden.

Sementara itu Galeri Kepresidenan menggambarkan peristiwa, prestasi dan sosok enam presiden yang pernah memimpin Republik Indonesia melalui koleksi berupa memorabilia, lukisan, album foto digital dan "video wall".

Di galeri ini ada enam ruang dengan nama masing-masing presiden yang saling terhubung dan satu ruang galeri yang memamerkan lukisan dinding kontemporer pelukis ternama Jeihan yang berjudul "Mata Hati Sang Pemimpin" dengan sebuah podium Presiden Republik Indonesia di tengah ruangan.

Mengingat museum tersebut menekankan pada prestasi para presiden maka di museum seluas 3211, 6 meter persegi itu ditampilkan Presiden Soekarno sebagai "Penyambung Lidah Rakyat yang Revolusioner", Presiden Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan yang Ideologis", Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai "Pembuka Gerbang Demokrasi", Presiden Abdurrahman Wahid sebagai "Bapak Pluralisme yang Menjaga Keberagaman", Presiden Megawati Sukarnoputri sebagai "Peneguh Konstitusi" dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai "Pengelola Perubahan dalam Era Globalisasi".

Di ruang Soekarno terdapat prasasti petikan pidato Jas Merah Sukarno pada 17 Agustus 1966 yang berbunyi "Jas Merah, Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah".

Di ruangan itu terdapat pula setelan putih yang menjadi ciri khas presiden pertama itu serta sejumlah foto-fotonya bersama keluarganya dan para pemimpin negara sahabat saat itu, termasuk Presiden Amerika Serikat John F Kennedy dan Pemimpin Uni Soviet Nikita S Khrushyev.

Sementara itu di ruang Soeharto terdapat prasasti tulisan tangan presiden kedua itu yang berbunyi "Hanya Sebutir Pasir yang Dapat Kami Beri untuk Memperkokoh Pondasi Negara Republik Proklamasi".

Sebagaimana di ruang Soekarno, di ruang ini pun terdapat baju safari abu-abu yang acap dikenakan oleh Presiden Soeharto dan foto-fotonya bersama keluarga serta para pemimpin negara sahabat seperti Ratu Inggris Elizabeth, PM Tiongkok Li Peng, dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan serta Bill Clinton.

Jalan satu-satunya untuk meninggalkan ruang Soeharto adalah melanjutkan perjalanan menuju ruang B.J. Habibie atau kembali melalui ruang Sukarno.

Di ruang B.J Habibie selain pakaian dan foto-fotonya bersama keluarga dan para pemimpin negara sahabat, termasuk PM Inggris Margaret Thatcher juga ditampilkan replika pesawat, yang merupakan salah satu pencapaian tertinggi presiden ketiga itu.

Di dinding ruang B.J Habibie terdapat prasasti petikan pernyataannya yang berbunyi "Indonesia harus Mengandalkan pada SumberDaya Manusia yang Berbudaya, Merdeka, Bebas, Produktif dan Berdaya Saing Tinggi".

Sementara itu di ruang Abdurrahman Wahid ditampilkan kemeja batik lengan pendek dan peci yang biasa dikenakan oleh presiden keempat tersebut.

Tampak juga foto-fotonya bersama keluarga dan para pemimpin dunia, termasuk pemimpin Kuba Fidel Castro.

Di dinding ruang tersebut terdapat prasasti petikan pidato kepresidenan yang berbunyi "Tidak Ada Kekuasaan yang Layak Dipertahankan dengan Pertumpahan Darah".

Di ruang Megawati, selain ditampilkan kebaya biru yang dikenakan presiden kelima itu dan foto-fotonya selama memimpin dan melakukan lawatan ke Jepang, Vatikan, Pakistan dan Tiongkok, terdapat pula peralatan minum teh dan vas bunga yang biasa digunakan olehnya selama menjabat.

Sementara itu petikan pidatonya pada 28 Oktober 1993 yang berbunyi "Bendera telah Aku Kibarkan Pantang Surut Langkahku Walau Tinggal Sendirian" terpampang di dinding.

Ruang terakhir adalah ruang Susilo Bambang Yudhoyono yang menampilkan seragam militer dan sebuah toga profesor serta foto-fotonya bersama keluarga dan para pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Presiden rusia Vladimir Putin.

Dalam ruangan itu ditampilkan pula foto saat Presiden Yudhoyono tampil di sejumlah acara internasional serta sebuah helm pasukan penjaga perdamaian.

Prasasti yang menghiasi dinding ruangan tersebut merupakan petikan pernyataannya dalam buku Selalu Ada Pilihan yang berbunyiI "Kekuasaan itu Menggoda Gunakan dengan penuh Amanah untuk Kepentingan Bangsa".

Apabila menyusuri ke enam ruang presiden tersebut maka akan tampak jelas setiap perubahan yang terjadi di negeri ini.

Perubahan yang terkadang harus dibayar mahal walau tak jarang juga berujung manis.

Terkait perubahan itu, dalam sidang kabinet paripurna terakhirnya, Kamis (16/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus mengingatkan jajaran pemerintahan untuk tidak alergi terhadap perubahan dan perbaikan yang bakal dilakukan pada pemerintahan mendatang.

Ia menilai perubahan harus dipahami sebagai bagian dari kesinambungan karena dalam setiap peridoe pembangunan memang diwajibkan untuk melakukan evaluasi.

Suatu evaluasi tentunya tidak akan selalu memunculkan prestasi namun juga menyoroti agenda-agenda yang belum berhasil.

Sebelumnya, Presiden terpilih Joko Widodo dalam masa kampanyenya mengusung suatu tema perubahan pola pikir dengan sebutan Revolusi Mental.

Bertolak belakang dengan ketegangan politik yang beberapa waktu mewarnai negeri ini, acara peresmian Museum Balai Kirti itu juga seakan menjadi ajang reuni keluarga para presiden yang penuh canda tawa.

Dari keluarga Presiden kedua Soeharto tampak hadir putrinya Siti Hadiati sedangkan dari keluarga Presiden Abdurrahman Wahid hadir istrinya, ibu Sinta Nuriyah dan putrinya Zannuba Wahid.

Sementara itu Presiden ketiga BJ Habibie tampak hadir dengan didampingi putranya Ilham Habibie dan cucu-cucunya.

Dari pihak Presiden Yudhoyono selain didampingi oleh Ibu Ani Yudhoyono hadir pula keluarga putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono dan istrinya, Aliya Rajasa Yudhoyono serta putra mereka Airlangga Yudhoyono.

Sekalipun tidak disebutkan kehadiran anggota keluarga inti dari presiden pertama dan kelima namun selama acara ramah tamah dan peninjauan museum, para keluarga presiden itu tampak akrab bertegur sapa sebelum kemudian secara bergantian berfoto di hadapan patung-patung presiden tersebut.

Berlatar Istana Bogor dan kebun Raya Bogor, Museum Balai Kirti dengan semua kisah positifnya seakan mencoba menghapus segala ketegangan politik yang pernah ada.

Enam patung presiden berdiri berdampingan tanpa beban sejarah, enam ruang berjajar saling berkesinambungan tanpa terputus dan enam kisah sukses terbingkai untuk anak cucu.

Oleh GNC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014