Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan kabinetnya yang ia namai "Kabinet Kerja."  Dalam kabinetnya ini tak begitu terlihat figur-figur yang selama ini dikritik berbagai kalangan, termasuk mereka yang selama ini diwanti-wanti tidak masuk kabinet oleh Komnas HAM.

Ini mungkin sinyal bahwa Presiden yang akrab disapa Jokowi itu cermat mempertimbangkan suara publik dan berusaha keras untuk selaras dengan janjinya.

"Saya melihat banyak yang bagus dan saya lihat juga cukup memberi harapan, meski tidak 100 persen bagus," kata mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie kepada Antara, Minggu.

Tapi sebelum mengumumkan kabinetnya, Jokowi sudah mengejutkan banyak kalangan setelah memutuskan meminta "rekomendasi" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai "kebersihan" calon-calon menterinya.

Sebagian orang menganggap langkah itu telah mengurangi hak prerogatif Jokowi sendiri sebagai Presiden Republik Indonesia karena membiarkan pihak lain turut menjaring anggota kabinetnya.

Sebagian kalangan lagi menyebutnya sebagai cara Presiden dalam "menyembunyikan tangannya" dengan memakai KPK dalam membersihkan kabinet dari kandidat-kandidat yang bermasalah, namun mungkin memiliki daya tawar amat besar karena berperan besar dalam mengantarkan Jokowi ke kursi kepresidenan.

Kedua pandangan itu masuk akal, namun apa pun itu, Presiden Jokowi justru telah memesankan keinginan kuat untuk konsisten pada keinginan membentuk pemerintahan yang bersih.

"Joko Widodo kan sudah berjanji kepada rakyat untuk membentuk kabinet yang bersih. Itu yang membuat kenapa kabinet Jokowi-Jusuf Kalla belum diumumkan," kata analis politik dari Universitas Diponegoro, Semarang, Susilo Utomo.

Jelas, Jokowi hendak memulai pemerintahannya dengan memberi pesan kuat bahwa pemerintahan bersih yang dia kampanyekan selama Pemilu Presiden adalah bukan omong kosong belaka, tak peduli itu dilakukannya dengan bolak balik meminta rekomendasi KPK.

Bahkan langkah dia "mengajak" KPK yang telah menjadi simbol penyapu kekotoran dalam berkekuasaan di negeri ini pun sudah menarik.

Cendekiawan muslim KH Ahmad Syafii Maarif sampai menilai Jokowi berlaku cerdik karena melibatkan KPK dan PPATK dalam menyusun kabinet.

"Menurut saya langkah Jokowi itu cerdik sekali. Walaupun banyak orang tidak suka, tetapi saya suka," kata Syafii Maarif pada Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman di Muntilan, Jawa Tengah (25/10).

Sedangkan Wakil Sekjen PDIP Hasto Kristianto menilai upaya melibatkan KPK dan PPATK ditempuh karena rakyat berharap besar Jokowi bisa menghadirkan kabinet bersih.

"Karena itulah pendalaman dan kehati-hatian, pengkajian secara mendalam, betul-betul dilakukan," kata Hasto.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas juga menangkap indikasi Jokowi serius merealisasikan kabinet yang diisi orang-orang bersih.  "Saya pikir seperti itu," kata dia seperti dikutip Tempo.co (24/10).

Ini akan menjadi kebalikan dari metode pemilihan kepemimpinan politik yang didasari pertimbangan politik semata dan mengesampingkan latar belakang moral yang seharusnya berlaku pada pemimpin politik pada tiga cabang trias politika mana pun; entah eksekutif, yudikatif, atau legislatif.


Berintegritas

Lalu, mengapa KPK yang harus mengungkapkan kepada publik mengenai "rekomendasi"-nya kepada Jokowi itu?

Sebagian elite menilai ini adalah cara Jokowi "membersihkan" potensi calon yang bermasalah dengan menggunakan tangan KPK karena Jokowi mungkin menghadapi tentangan keras dari dalam agar mengabaikan rekomendasi KPK.

Anggota DPR dari Partai Hanura, Sarifudin Sudding, menangkap indikasi tarik menarik tersebut begitu KPK memberikan tanda merah dan kuning terhadap beberapa calon menteri.

"Paling tidak selama ini orang-orang yang berkontribusi besar dalam pemenangan Jokowi-JK dan jadi prioritas untuk jadi menteri ternyata tak bisa karena red notice dari KPK," kata Sarifudin Sudding.

Uniknya, Jokowi terbilang sukses menutup kegaduhan dalam koalisi sehingga tak tumpah menjadi pengetahuan publik, tanpa mengesampingkan rekomendasi KPK karena dia tidak sedang melakukan pencitraan dengan melibatkan KPK dalam penyusunan kabinet.

"Akan jadi masalah bila ada calon menteri yang mendapat rapor merah dari PPATK dan KPK, namun tetap dipilih. Ini kemudian hanya menjadi proses formal belaka," kata peneliti hukum pada Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz.

Lain dari itu, dengan mengganti beberapa calon menteri yang dimerahkuningkan KPK, Jokowi telah sedikit menjawab keraguan orang bahwa dia bukan pemimpin yang bisa diintervensi.

Buktinya, dia lebih mengambil rekomendasi KPK, ketimbang menuruti kemungkinan "pesan" lain yang mungkin datang dari mitra-mitranya dalam koalisi.  Dia bahkan menamai kabinetnya dengan nama yang berlainan dengan usulan partainya, "kabinet trisakti".

Beruntung, entah sengaja atau tidak, Ketua KPK Abraham Samad lalu menajamkan definisi "merah" dan "kuning" pada nama-nama calon anggota kabinet Jokowi-JK itu.

Mungkin benar ini diskenariokan seperti dituduh sejumlah kalangan, namun tak ada yang salah jika Abraham ingin "penilaian" KPK tak dianggap dokumen semata atau hanya bagian dari proses formal belaka seperti dikhawatirkan Donal Fariz.

Sebaliknya, Abraham ingin memastikan pemimpin nasional bangsa ini sejalan dengan ambisi KPK memberantas korupsi yang nyata telah mengiris ketahanan negara ini.

"Posisi KPK memberikan saran, memberikan rekomendasi agar republik ini dipimpin oleh pimpinan yang bersih, berintegritas," tegas Abraham.

Bersejarah

Hal lain yang bisa ditangkap dari manuver Jokowi adalah pesan bahwa dengan melibatkan KPK sejak awal dia serius ingin memperkuat KPK seperti dia gagaskan selama kampanye kepresidenan lalu, selain selaras dengan aspirasi kebanyakan rakyat negeri ini.

Tak heran masyarakat menyambut langkah Jokowi itu.

"Ini langkah bersejarah, Indonesia akan lebih bersih jika orang-orang yang bekerja atas nama publik untuk kepentingan publik, memang clear," kata cendekiawan Anies Baswedan seperti dikutip Kompas.com (24/10).

Dengan memilih melibatkan PPATK dan KPK yang tak berada di bawah Presiden, Jokowi bebas dari tudingan telah berlaku semena-mena. Sebaliknya, akan mudah dipolitisasi jika Jokowi malah meminta rekomendasi Polri atau Kejaksaan Agung yang notabene di bawah Presiden.

Namun pesan dasarnya adalah bahwa dengan melibatkan PPATK dan KPK, Jokowi telah memberi pesan bahwa dia ingin memastikan pemerintahannya tak dihambat praktik-praktik koruptif dan kolutif begitu kabinetnya bekerja nanti.

"Jokowi butuh PPATK dan KPK untuk membantu menutup kesempatan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme," kata Donal Fariz merujuk budaya transaksional yang kerap terjadi antara kementerian dengan politisi dan pengusaha.

Yang juga menarik adalah "tempat khusus" dari Jokowi untuk KPK. Ini adalah sinyal kuat bahwa dia tidak akan mau berkompromi dengan perilaku korup.

Sinyal itu bukan saja ditujukan kepada tim pemerintahannya, namun juga kepada anasir-anasir korup di luar pemerintahannya yang mungkin sedang dan berpotensi menghadapi masalah hukum.

Ini akan sangat menakutkan koruptor, mengingat satu tangan kekuasaan lainnya Jokowi menggenggam kewenangan terhadap Polri dan Kejaksaan Agung.

Adalah bahaya besar bagi mafia dan koruptor jika Jokowi bisa mendorong Polri dan Kejaksaan Agung bekerja lebih seirama lagi dengan KPK.

Ditambah sistem peradilan yang terus menunjukkan ketegasan luar biasa berkat hadirnya hakim-hakim berintegritas tinggi seperti Artidjo Alkostar, maka bahaya besar itu bisa berubah menjadi malapetaka bagi koruptor.

Intinya, saat banyak elite politik berbicara antikorupsi selama kampanye Pemilu namun begitu berkuasa semangat itu gagal dipesankan karena yang dominan tetap bagi-bagi kekuasaan, Jokowi-JK justru telah menyampaikan pesan antikorupsi yang kuat, langsung di awal pemerintahannya.

Memang, masih butuh waktu lama untuk membuktikan kebersihan pemerintahannya itu, tetapi pesan pertama telah disampaikan.  Dan pesan pertama itu penting.




Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014