...adik-adik jangan meniru pemimpin seperti itu, karena kalau pemimpin korup dipilih terus, saya jamin rakyat tidak akan pernah sejahtera."
Surabaya (ANTARA News) - "Bagaimana cara menghilangkan mental terjajah dan bangsa minder?", "kenapa masih ada pemimpin yang korup tapi bisa terpilih lagi dalam pilkada langsung?"

Pertanyaan tersebut adalah contoh dari setumpuk hal yang diajukan puluhan penanya dari 1.018 pelajar yang mengikuti Kongres Pelajar Nusantara di "Kota Pahlawan" Surabaya, 8-12 November 2014.

Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dalam sesi dialog dengan tokoh yang merupakan bagian dari agenda kongres yang digagas Organisasi Pelajar se-Surabaya (Orpes) dan didukung oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya itu.

"Ada lima topik yang menjadi fokus dalam Kongres Pelajar Nusantara yang diikuti pemimpin OSIS dari Aceh hingga Papua itu yakni sosial, lingkungan hidup, nasionalisme, kepemimpinan, dan entrepreneur," kata Ketua Orpes Bagaskara Haditia.

Agenda kongres antara lain mengenal budaya dan permainan serta perkampungan tradisional di Surabaya, seperti permainan egrang. Selain itu, peserta juga diajak menanam 500 pohon cemara, parade mural, dan bersih-bersih pantai di Kenjeran, serta wisata sejarah.

Berikutnya, peserta merumuskan Ikrar Pelajar di Taman Bungkul, mengikuti Parade Juang dengan pakaian adat dan kesenian daerah masing-masing, menyaksikan pameran pendidikan di Balai Pemuda, dan berdialog dengan tokoh nasional Prof Syafii Maarif dan Ketua KPK Abraham Samad.

Dalam nasihatnya, salah seorang "guru bangsa" Prof Syafii Maarif meminta pelajar untuk menghilangkan mentalitas terjajah yang selama ini menjangkiti para pemimpin bangsa, sehingga Bangsa Indonesia sulit berkembang untuk maju.

"Kita memang cukup lama dijajah, sehingga kita memiliki mentalitas sebagai bangsa terjajah, tapi kalau mentalitas itu ada terus justru akan membuat kita sulit berkembang untuk maju," katanya di Surabaya, 10 November 2014.

Di depan seribu pelajar se-Indonesia dalam "Kongres Pelajar Nusantara" itu, mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah itu mengharapkan mentalitas terjajah diganti dengan mentalitas merdeka.

"Mentalitas terjajah itu selalu merunduk bila bertemu bule (orang asing), selalu minder berhadapan dengan orang lain, dan mental lainnya yang menghambat diri kita untuk maju," katanya di hadapan peserta kongres sejak 8 November hingga 12 November 2014 itu.

Ditanya peserta dari Sumatera dan Papua tentang cara menghilangkan mentalitas terjajah, salah seorang cendekiawan muslim yang akrab disapa Buya itu menyebut tiga cara sederhana yakni jangan meniru generasi angkatan sekarang yang korup.

"Cara kedua, bacalah biografi para pendiri bangsa ini, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Hamka, Ali Sastroamidjojo, Leimena, Tan Malaka, Bung Tomo, dan para ulama Jatim yang terlibat dalam Pertempuran Sepuluh November dengan bambu runcing," katanya.

Dalam kesempatan itu, guru besar Ilmu Sejarah UGM Yogyakarta itu pun mencontohkan dua buku karya Bung Hatta yang penting dibaca yakni Indonesia Merdeka dan Indonesia Menggugat yang semuanya ditulis di dalam penjara.

"Kongres pelajar yang baru pertama kali ini juga penting, karena kali bertemu dengan saudara-saudara kalian dari Aceh hingga Papua. Dari kongres ini, kalian saling mengenal dan saling belajar tentang kebhinnekaan kita sebagai bangsa," katanya.

Cara ketiga, pelajar Indonesia harus meyakini bahwa pendidikan yang ditempuh sama dengan pelajar lain di seluruh dunia. "Kalau pelajar lain pintar, kita juga punya BJ Habibie yang ahli bikin pesawat. Jadi, ucapkan sayonara pada mental budak," katanya.

"Pejuang" MEA-2015
Dalam dialog tokoh pada kongres itu, Ketua KPK Abraham Samad menegaskan bahwa Indonesia memerlukan pemimpin "gila" yang dekat dengan rakyatnya, memikirkan kesejahteraan rakyatnya, dan memimpin dengan hati atau berkarakter (satu dalam kata dan perbuatan).

"Kita mempunyai 50 persen lebih dari 500-an pemimpin (kepala daerah) yang menjadi pasien KPK, karena itu kita perlu pemimpin gila yang aneh untuk ukuran Indonesia saat ini," katanya.

Ia menjelaskan pemimpin "gila" itu pemimpin yang tidak ada jarak dengan rakyatnya.

"Pejabat sekarang cenderung menjaga jarak atau sulit bertemu dengan rakyat yang dipimpinnya sendiri, tapi kita mempunyai pemimpin gila seperti Jokowi (Presiden Joko Widodo), Risma (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini), dan semacamnya," katanya.

Menurut dia, pemimpin "gila" juga selalu memikirkan kesejahteraan rakyatnya, bahkan pemimpin "gila" itu tidak akan hidup mewah bila rakyatnya belum sejahtera.

"Pemimpin gila juga selalu mewujudkan kata dalam perbuatan. Ada satu antara kata dan perbuatan," katanya.

Ditanya seorang pelajar dari Kalimantan tentang pemimpin yang korup tapi bisa terpilih lagi dalam pilkada langsung, ia mengatakan hal itu terjadi karena perilaku korup di Indonesia sudah dianggap perbuatan yang biasa.

"Tapi, adik-adik jangan meniru pemimpin seperti itu, karena kalau pemimpin korup dipilih terus, saya jamin rakyat tidak akan pernah sejahtera, karena kesejahteraan rakyat hanya ada dalam sumpah, tapi tidak ada dalam perbuatan," katanya.

Oleh karena itu, KPK memperluas perhatian dari penindakan kasus korupsi menuju pencegahan kasus-kasus korupsi.

"Caranya, lakukan perbaikan sistem dan pendidikan antikorupsi mulai dari PAUD dengan dongeng hingga universitas," katanya.

Dalam kesempatan itu, Abraham Samad menyebut sembilan nilai-nilai antikorupsi yakni kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, keberanian, dan keadilan.

"Karena itu, kalau adik-adik masih suka menyontek atau berbohong, hal itu harus diakhiri, karena kalau diteruskan akan bisa menumbuhkan perilaku koruptif. Kalian harus mempunyai semangat juang dalam bentuk kebaikan dan kemajuan," katanya.

Di sela kongres itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan anak-anak Surabaya sudah dua kali mengadakan "kongres pelajar" tapi sifatnya terbatas dan kongres ketiga kalinya diperluas hingga pelajar se-Nusantara.

"Mereka berjuang sendiri, mereka ingin bertemu saudara-saudaranya dari luar Jawa Timur, lalu kami fasilitasi, tapi acara dan persiapannya dilakukan mereka sendiri. Orpes berkali-kali mengadakan rapat sendiri dan sempat juga menemui saya," katanya.

Didampingi Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Dr M Ikhsan, Risma berharap "perjuangan" yang dilakukan dengan penyelenggaraan kongres akan menjadi bekal mereka untuk kehidupan selanjutnya.

"Apalagi, kongres kali ini menghasilkan lima Ikrar Pelajar Nusantara yang tentunya bisa disampaikan kepada pelajar-pelajar se-Nusantara yang tidak sempat mengikuti kongres itu," katanya.

Ikrar pertama adalah mereka berikrar untuk menjaga keutuhan NKRI.

Kedua, mereka berikrar menjadi pelajar yang berbudi luhur

Ketiga, mereka berinisiatif dan turut terlibat aktif dalam kehidupan sosial.

Keempat, mereka bertekad menumbuhkan jiwa kewirausahaan demi Indonesia yang berdikari.

Kelima, mereka berikrar untuk melestarikan lingkungan dan kebudayaan Nusantara sebagai identitas dan kekayaan bangsa.

Perjuangan dalam menyelenggarakan Kongres Pelajar Nusantara 2014 yang mirip Sumpah Pemuda 1928 itu diharapkan akan menciptakan "mindset" pejuang yang tidak suka mengeluh atau protes, melainkan selalu terus berjuang dan selalu melihat semua dengan positif sesuai dengan ikrar yang dirumuskan bersama.

Dengan "mindset" pejuang yang meneladani para pendiri republik ini, para pelajar yang merupakan calon pemimpin negeri ini akan mampu mengawali peran penting sebagai "pejuang" AEC (ASEAN Economic Community) atau MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2015 untuk kesiapan dalam perjuangan panjang pada masa-masa selanjutnya.

Oleh edy m ya`kub
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014