New York (ANTARA News) - Kedatangan Presiden AS, George W. Bush, pada 20 November tetap harus dilihat dari kacamata kenegaraan, kendati Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia ikut merasakan sakit atas penderitaan yang dialami saudara-saudaranya di berbagai negara di Timur Tengah akibat kebijakan luar negeri Bush, demikian menurut anggota Komisi I DPR, Mohammad Hatta. Sementara anggota Komisi I DPR lainnya, Sidarto Danusubroto, dalam perbincangan dengan ANTARA di New York, Rabu, menilai pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak sensitif dan tidak dapat membaca peta, baik soal sentimen di kalangan masyarakat Indonesia maupun perkembangan di AS sendiri. Perkembangan yang dimaksudkannya yaitu kalahnya partai Bush -- Partai Republik -- oleh Partai Demokrat pada Pemilu Sela baru-baru ini. "Harus kita ingat, Bush tetap saja adalah simbol negara. Di belakang Bush adalah pemerintah dan rakyat Amerika. Itu harus kita hormati. Bush harus dilihat dari kaca mata kenegaraan," kata Hatta, yang berasal dari Fraksi Partai Golkar. Hatta menyatakan sepakat bahwa banyak kebijakan luar negeri Bush, khususnya terhadap Timur Tengah, memang menimbulkan penderitaan kepada rakyat di wilayah tersebut. "Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar ikut merasakan sakitnya. Tapi tetap harus diingat, kita ini tidak senang kepada Bush, bukan kepada rakyat Amerika, bukan kepada pimpinan Amerika," ujarnya. Di tengah pesimisme berbagai kalangan di Indonesia bahwa dialog-dialog dengan Bush akan dapat mengubah kebijakan-kebijakan AS, termasuk keberpihakannya terhadap Israel dalam isu Palestina, Hatta berpendapat dialog tentang berbagai isu bagaimanapun harus tetap dilakukan saat kedatangan Bush di Indonesia. Keuntungan ekonomi Sementara itu, anggota Komisi I dari F-PDI Perjuangan, Sidarto Danusubroto, menganggap bahwa Pemerintah Indonesia lebih melihat kepada sisi keuntungan ekonomi semata tentang kunjungan Bush. "Tidak dilihat dimensi politiknya, sentimen agama, kekalahan Bush di Pemilu. Jangan dilihat dari sisi ekonomi saja. Pemerintahan SBY tidak `wise` ( bijaksana, red), tidak bisa baca peta," katanya. Selain menyatakan kekhawatirannya bahwa Pemerintah Indonesia hanya melihat dari sisi ekonomi, Sidarto juga menganggap tidak tepat saat ini bagi Indonesia untuk menerima kunjungan Bush. "Misalnya kenapa tidak tunggu presiden (AS) baru... sekarang kita lihat bahwa Bush dikalahkan rakyat AS melalui Pemilu," ujarnya. Menurut rencana, Presiden Bush akan tiba di Indonesia pada 20 November sore hari dan langsung mengadakan pertemuan dengan Presiden Yudhoyono di Istana Bogor. Kunjungan Bush antara lain akan ditandai dengan pemberian bantuan dana sebesar 150 juta dolar AS untuk bidang pendidikan Indonesia. Mohammad Hatta, Sidarto Danusubroto bersama anggota DPR lainnya, yaitu Tuti Indarsih Loekman Soetrisno dari Komisi IX, berada di New York, AS, untuk mengikuti sidang dua hari Inter-Parliamentary Union (IPU) di Markas Besar PBB-New York, yang berakhir pada 14 November. IPU Sidang tahunan IPU yang diselenggarakan di Markas Besar PBB itu antara lain menekankan pentingnya pencegahan konflik dan membangun perdamaian di semua belahan dunia. Dalam sidang tersebut, para anggota parlemen dari berbagai negara, termasuk Indonesia, memberikan berbagai masukan kepada PBB berdasarkan pengalaman negara mereka masing-masing. Indonesia sendiri berbagi pengalaman tentang pencegahan konflik dan membangun perdamaian di Aceh serta Timor Timur. Mohammad Hatta menyoroti perlunya PBB dan semua negara untuk menghentikan peredaran senjata di kalangan sipil pasca konflik dengan memperhatikan kondisi dan kepentingan mereka, termasuk dengan memberikan imbalan. "Contohnya, GAM menyerahkan senjata mereka, dengan imbalan hak-hak mereka sebagai warga negara dipulihkan," katanya. Tentang praktek pencegahan konflik di Indonesia, misalnya dalam kasus konflik antar masyarakat di Poso, Sulawesi Tengah, Sidarto Danusubroto menyebut penegakan hukum berkeadilan dan pengelolaan pasca konflik yang belum tuntas, penyalahgunaan wewenang serta korupsi sebagai faktor-faktor yang dapat menjadi sumber konflik baru dan karenanya konflik masih sulit dicegah untuk terjadi. Ia juga menekankan pentingnya masyarakat Poso untuk terus berupaya mengembalikan semangat untuk mencari akar masalah agar konflik tidak mudah timbul. "Harus dicari akarnya. Delapan tahun lalu menantu sama mertua bisa berbeda agama dan hidup dengan damai dalam masyarakat, harus dikembalikan lagi semangat untuk mewujudkan kondisi seperti delapan tahun lalu itu," katanya. Indonesia pada tahun 2007 akan menjadi tuan rumah pertemuan IPU, yang menurut rencana akan diselenggarakan di Bali. (*)

Copyright © ANTARA 2006