Balikpapan (ANTARA News) - Jika menyebut Teluk Balikpapan, maka tak sedikit orang membayangkan salah satu kawasan Kalimantan Timur yang memiliki hamparan hijau hutan bakau (mangrove) yang padat dengan berbagai aktivitas pelayaran dan perdagangan.

Maklum saja, di kawasan itu terdapat pelabuhan pemerintah dan swasta, antara lain Pelabuhan Semayang, Pelabuhan Kampung Baru, Pelabuhan Kariangau, pelabuhan feri Balikpapan Kota-Penajam, Pelabuhan Pertamina, Pelabuhan Chevron, dan Pelabuhan Petrosea.

Teluk Balikpapan kini kian tergerus akibat dalam beberapa tahun terakhir telah beroperasi juga perusahaan industri pertambangan batu bara dan kelapa sawit.

Padahal, di tengah-tengah gemuruh aktivitas pelayaran, perdagangan dan industri itu ternyata zona Teluk Balikpapan adalah benteng terakhir kawasan bernilai konservasi tinggi dan merupakan salah satu noktah keanekaragaman hayati yang tersisa di sepanjang pantai Kalimantan Timur (Kaltim).

Kawasan itu menjadi benteng terakhir beberapa satwa langka pesisir Kaltim, baik di darat, yakni bekantan atau monyet hidung belalai ((Nasalis larvatus), maupun di perairannya, yaitu duyung (Dugong Dugon) dan pesut Mahakam ((Orcaella brevirostris).

Keunikan dan kelangkaan dari keragaman hayati Teluk Balikpapan diungkapkan oleh Stanislav Lhota, peneliti dari Universitas Life Scences Ceko di Praha, yang telah bekerja di Teluk Balikpapan selama lebih dari tujuh tahun.

Ilmuwan itu mengungkapkan bahwa tidak perlu harus jauh ke tengah samudera atau menjelayahi jatung rimba belantara untuk menemukan berbagai satwa langka dan unik, namun itu ada di Teluk Balikpapan

Hasil survei Stanislav Lhota menunjukan bahwa hutan mangrove di Teluk Balikpapan sangat strategis karena menjadi habitat bagi lima persen dari populasi bekantan.

Jumlah populasi bangsa Primata, suku Cercophitecidae, dan anak suku Colobinae di Teluk Balikpapan mencapai 1.400 ekor (sekitar 1.000 ekor di pesisir Kabupaten Penajam Paser Utara dan 400 ekor di pesisir Balikpapan).

Di perairannya, Teluk Balikpapan juga ternyata menjadi habitat beberapa jenis satwa yang dianggap benar-benar terancam punah, yakni Duyung. Bahkan, satwa ini sempat diusulkan telah punah di Bumi Kalimantan pada 1996 namun empat tahun kemudian, Yayasan RASI (Rare Aquatic Species Indonesia) menemukan denyut kehidupan liar mamalia itu di Teluk Balikpapan.

Keunikan Teluk Balikpapan kian mencengangkan karena di perairannya terjadi menjadi habitat satwa langka yang selama ini diketahui hanya hidup di ekosistem air tawar, yakni Pesut Mahakam.

Pesut adalah sejenis hewan mamalia yang sering disebut lumba-lumba air tawar yang hampir punah karena berdasarkan data tahun 2007, populasi hewan tinggal 50 ekor saja dan menempati urutan tertinggi satwa Indonesia yang terancam punah. Secara taksonomi, pesut mahakam adalah subspesies dari pesut (Irrawaddy dolphin).

Populasi satwa langka itu selama ini diketahui hanya terdapat di Sungai Mahakam, Sungai Mekong, dan Sungai Irawady.

Populasi Pesut di Teluk Balikpapan diperkirakan sekitar 60 hingga 140 ekor. Muara Tempadung merupakan habitat yang sangat penting bagi pesut, sebagai daerah pencarian ikan dan migrasi.

Terancam sawit

Pegiat lingkungan hidup, ilmuwan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) melakukan berbagai upaya penyelamatan Teluk Balikpapan, termasuk melakukan kampanye internasional pada forum lingkungan hidup dunia.

Namun, bukan berarti kelestarian Teluk Balikpapan sudah aman. Ironisnya, kali ini ancaman itu justru berasal dari sebuah perusahaan dari kelompok usaha Wilmar International Limited yang sudah komitmen untuk tidak lagi menebang hutan (zero deforestasi) bagi program pengembangan usahanya..

Wilmar menandatangani komitmen zero-deforestasi pada 5 Desember 2013, sebuah keputusan yang disambut baik oleh komunitas internasional dan membuatnya populer.

Perusahaan agribisnis berbasis di Singapura, merupakan salah satu perusahaan terbesar di Asia, mengelola lebih dari 400 anak perusahaan di dunia. Cabang utamanya di Indonesia yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia (Wina), menyediakan layanan penyulingan minyak goreng.

Minyak sawit merupakan produk terbesar Wilmar dan merupakan perusahaan terbesar dalam perdagangan komoditas ini dengan produksi lebih dari 37 juta metrik ton per tahun.

Wina pada 28 Januari 2014 menyelenggarakan konsultasi publik untuk pengajuan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan evaluasi nilai konservasi hutan bagi pembangunan pabrik CPO di Teluk Balikpapan pada area konsensi perusahaan tersebut 149,8 hektar yang ditumbuhi oleh hutan mangrove dan hutan sekunder.

Konsultasi publik itu mereka perlukan untuk rencana pembangunan pabrik pengolahan minyak sawit mentah di Teluk Balikpapan.

Wina pada 24 Januari 2014 membagikan undangan untuk konsultasi publik, namun seperti melupakan pihak yang selama ini terkait lingkungan Teluk Balikpapan, baik para LSM konservasi seperti WWF, TNC, BOS-F, Walhi, ataupun sejumlah akademisi dan peneliti.

"Hanya satu yang dapat undangan tertulis resmi, tetapi terlambat. Beberapa malah hanya ditelpon yang juga sehari sebelum konsultasi publik. Harusnya undangan diberikan minimal satu pekan dan lokasinya mudah dijangkau," kata Stanislav Lhota yang menuturkan bahwa acara itu jaraknya cukup jauh dari Balikpapan, yakni di SD Teluk Waru di Penajam Paser Utara.

Persoalan itu menyebabkan para aktivis dari 18 LSM konservasi menyurati WINA secara resmi. Menurut para aktivis LSM, konsultasi publik yang disampaikan WINA pada 28 Januari tersebut tidak sah.

Wina mengumumkan hasil penilaian PT ReMark.Asia, yang telah terakreditasi RSPO (Roundtable on The Sustainable Palm Oil , sebuah kelompok kerja yang bertugas untuk melakukan seritifikasi produksi, perdagangan, dan konsumsi minyak sawit di seluruh dunia) bahwa hanya 22 hektar dari 149,8 Ha hektar hutan adalah nilai memiliki konservasi yang tinggi (High Conservation Value/HCV).

Kecilnya kawasan berkatagori HCV jelas mengancam keanekaragaman hayati Teluk Balikpapan. Pasal, deforestasi nol itu tidak berarti "tanpa deforestasi", melainkan mematuhi peraturan yang ketat, misalnya syarat utama bagi perusahaan ketika akan membuka lahan harus melakukan penilaian ekosistem terlebih dahulu untuk menentukan apakah terdapat area HCV.

Gabriella Frederiksson, seorang saintis yang mempelajari beruang madu selama 10 tahun di Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) yang bersebelahan dengan area konsesi WINA, hadir dalam pertemuan pada Februari.

Ia menceritakan bahwa pelaksanaan penilaian semacam ini dilakukan buruk untuk lahan seluas 27 hektar yang telah mengalami deforestasi di wilayah Teluk Balikpapan sebelum komitmen deforestasi diumumkan.

"Mereka mempresentasikan hasil penilaiannya pada bulan April 2013, dan kami beranggapan bahwa penilaian tersebut sangat lemah," ujarnya.

Para ilmuan, peneliti, penggiat lingkungan dan LSM menilai bahwa perusahaan berusaha menggunakan hasil temuan tersebut untuk membenarkan rencana pengembangan baru untuk membangun pabrik CPO.

Lhota dan Frederikkson secara tegas menolak hasil evaluasi bahwa hanya 22 hektar dari 149,8 hektar hutan (atau sekitar 14 persen) yang memiliki HCV tinggi. Keduanya mengklaim berdasarkan pengalaman mereka selama bertahun-tahun bahwa banyak spesies yang terancam punah bergantung di wilayah ini untuk bertahan hidup.

Lhota menilai bahwa selain kesalahan dalam evaluasi HCV, ada beberapa alasan sehingga menentang pembangunan kilang minyak sawit di Teluk Balikpapan, termasuk dampak jasa lingkungan terkait dengan perlindungan DAS hilir.

Teluk Balikpapan, mereka nilai, strategis bagi konservasi keberadaan terumbu karang, padang lamun, mangrove, hutan hujan dipterokarpa dan karst, dengan lebih dari 100 spesies mamalia, hampir 300 jenis burung, dan lebih dari 1000 jenis pohon.

"Teluk Balikpapan merepresentasikan sebuah sistem air tertutup. Sistem tersebut hanya mengalami sedikit pertukaran dengan air laut sehingga hampir semua sedimen dan limbah industri akan terakumulasi di teluk," ujar Lhota.

Selain itu, Scott Poynton, Direktur Eksekutif The Forest Trust (TFT), menilai: "Kami sepakat bahwa evaluasi HCV akan dilakukan sesuai dengan persyaratan HCV Resources Network."

TFT adalah organisasi nirlaba yang memiliki misi untuk membantu perusahaan dalam menyediakan "produk yang bertanggungjawab", yang memperhitungkan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

TFT juga membantu Wilmar dalam mencapai kebijakan deforestasi nol.

Boris Saraber, Senior Manajer Asia Utara untuk TFT menegaskan bahwa evaluasi HCV di area konsesi Teluk Balikpapan dilakukan asesor HCV yang berpengalaman dan kredibel dari PT-Re.Mark Asia.

"Meskipun, beberapa perkembangan telah terjadi di lokasi, hal tersebut terjadi sebelum komitmen deforestasi nol Wilmar pada bulan Desember 2013," katanya.

Ia menambahkan, "Sejak saat itu jalan khusus telah dibuka oleh Pemerintah [dalam area konsesi]. Wilmar dan TFT telah memulai proses penilaian HCV atas situs dan akan pergi ke lapangan untuk segera melakukan pengujian."

Tangan pemerintah

Niel Makinuddin, pemerhati sosial dan lingkungan hidup Kaltim, menilai bahwa keberadaan ekosistem Teluk Balikpapan memang terus memperoleh tekanan akibat pembangunan aneka infrastruktur dan pembukaan lahan.

Ia menilai bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap ancaman kerusakan lingkungan Teluk Balikpapan yang kian besar, karena tidak selektif dalam memberikan izin usaha.

"Dampak serius dari perijinan yang terkesan diobral adalah erosi dan sedimentasi dan pencemaran air yg berdampak kepada menurunnya kualitas habitat kepunahan satwa khususnya satwa endemik Kalimantan," ujarnya.

Padahal, dikemukakannya, tulang punggung kehidupan laut adalah ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Bila ketiga ekosistem vital ini dijaga, maka laut akan terus menghasilkan ikan yang melimpah.

"Saya mendapat informasi dari warga bagi ekosistem mangrove terus dibabat, ini harus mendapat perhatian serius pemerintah untuk segera menghentikan," ujarnya.

"Pertanyaannya, siapa akan menanggung biaya kerusakan lingkungan hidup dan sosial akibat salah urus? Yang jelas, swasta tidak akan pernah mau mengeluarkan biaya rehabilitasi kawasan ekosistem unik Teluk Balikpapan," ujarnya.

Disarankannya, agar pemerintah daerah yang terkait dengan kawasan Teluk Balikpapan, yakni Balikpapan, Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara dan Pemprov Kaltim untuk duduk satu meja membicarakan nasib Teluk Balikpapan yang kian terancam kelestarian lingkungan hidupnya.

"Rencana strategis (Renstra) Teluk Balikpapan sebetulnya sudah pernah dibuat 2000. Renstra itu masih relevan utk dijadikan modal mengelolanya. Namun, perlu beberapa revisi dissuaikan dengan perkembangan terkini," katanya.

Ia juga mengingatkan investor bahwa investasi tanpa dibarengi sabuk pengaman lingkungan hidup dan menjaga keragaman hayati ibaratnya menanam bom waktu sosial dan lingkungan.

Ia pun berujar, "Saya setuju agar pemerintah meninjau ulang izin usaha di Teluk Balikpapan. Libatkan para pakar dan praktisi lingkungan hidup agar memperoleh opini yang obyektif dan ilmiah, sehingga bisa diputuskan apakah izin diteruskan atau tidak."

Jika izin usaha memang harus dihentikan, menurut dia, maka pemerintah bisa bernegosiasi dengan investor pemegang izin usaha untuk kompensasinya.

"Untuk kepentingan publik dan keberadaan potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa di Teluk Balikpapan, maka pejabat publik harus berani bertindak benar, namun arif dan adil," demikian Niel Makinuddin.

Oleh Iskandar Zulkarnaen
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014