Dalam konteks program MBG yang memerlukan pendanaan besar, pemerintah dapat memanfaatkan instrumen pajak melalui mekanisme 'earmarking'

Jakarta (ANTARA) - Program makan bergizi gratis (MBG) sebagai program unggulan Presiden Prabowo resmi dimulai sejak 6 Januari 2025 lalu. Belum genap dua pekan sejak peluncurannya, muncul ide penggunaan dana zakat untuk mendanai program MBG. Tidak tanggung-tanggung, pencetusnya adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan B Najamudin.

Wacana penggunaan dana zakat tersebut menuai perhatian luas. Meskipun tujuan mendukung perbaikan gizi generasi muda sangatlah mulia, penggunaan dana zakat untuk program MBG memunculkan potensi penyimpangan.

Persoalan utamanya adalah karena zakat memiliki fungsi khusus dalam sistem ekonomi Islam, yakni membantu memberdayakan mustahik yang terdiri dari delapan kelompok. Di antara mereka misalnya fakir, miskin, dan orang yang berutang untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang belakangan ini semakin relevan untuk dibantu dengan maraknya pinjaman daring.

Ketentuan terkait penggunaan dana zakat telah diatur jelas dalam Islam dan telah diartikulasikan dalam peraturan zakat nasional. Karana itu, mengalihkan dana zakat untuk program universal semacam MBG berpotensi melanggar prinsip syariat.

Terlebih, bila ditelisik lebih lanjut, program MBG menyasar semua anak sekolah tanpa memandang kondisi ekonomi mereka. Artinya, anak-anak dari keluarga mampu juga akan menerima MBG sehingga penggunaan dana zakat menyalahi tujuan awal pengenaannya.

Lebih jauh lagi, penggunaan dana zakat secara tidak tepat dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan zakat. Dalam hal ini, para muzakki (pembayar zakat) sangat mungkin menjadi enggan menyalurkan zakat mereka melalui lembaga resmi. Pada akhirnya, hal ini akan melemahkan kapasitas zakat dalam mengentaskan kemiskinan dan mencapai tujuan lainnya yang telah digariskan.

Karena itu, penggunaan dana zakat untuk mendanai MBG merupakan langkah yang kurang tepat. Sebagai gantinya, pemerintah perlu menggali instrumen yang sudah ajeg, misalnya melalui optimalisasi pemungutan dan pengelolaan dana pajak.

Pajak Opsi Ajeg

Sebagai instrumen keuangan publik, dana dari pajak secara pengalokasian memiliki fleksibilitas yang lebih besar dibanding zakat. Pajak menurut sejumlah sumber berasal dari bahasa Jawa yaitu “ajeg”, yang berarti tetap atau tidak berubah. Ketika diserap sebagai pajak, maknanya menjadi pungutan tertentu pada waktu tertentu.

Sebagaimana kata asalnya, pajak dapat menjadi sumber pendanaan yang ajeg, termasuk untuk program MBG. Melalui pengelolaan dana pajak yang baik, pemerintah bisa menggunakan dana yang terkumpul tersebut untuk mendanai program-program pembangunan secara ajeg.

Dalam konteks program MBG yang memerlukan pendanaan besar, pemerintah dapat memanfaatkan instrumen pajak melalui mekanisme earmarking, yaitu pengalokasian secara khusus penerimaan pajak untuk tujuan tertentu.

Meskipun tidak secara langsung berkontribusi pada penambahan pendapatan negara, earmarking tetap penting mengingat sifat dasar pajak yang tidak memberikan manfaat langsung kepada pembayarnya.

Dengan karakter pajak yang demikian, sering kali timbul keraguan atau skeptisisme dari masyarakat mengenai pengelolaan dan penggunaannya. Dengan demikian, adanya mekanisme earmarking memungkinkan masyarakat untuk melihat secara jelas manfaat yang dihasilkan dari pajak yang mereka bayarkan.

Untuk mendanai MBG, ada beberapa opsi earmarking yang dapat dipertimbangkan. Pertama, earmarking Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sektor makanan dan minuman. PPN merupakan salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara.

Dengan secara jelas mengalokasikan sebagian penerimaan dari penyerahan makanan dan minuman yang dikenai PPN, pemerintah bisa mendanai MBG secara pasti. Upaya ini cukup logis karena tidak memerlukan pengenaan pajak baru, melainkan hanya penyesuaian alokasi anggaran.

Kedua, earmarking pajak restoran yang saat ini dipungut oleh pemerintah daerah. Pajak restoran (kini masuk kelompok pajak barang dan jasa tertentu), yang umumnya dikenakan sebesar 10 persen dari total nilai transaksi makanan dan minuman di restoran, merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup signifikan.

Dengan mengarahkan sebagian penerimaan pajak restoran untuk MBG, pemerintah daerah dapat menyumbang terhadap pendanaan program gizi anak-anak sekolah sesuai dengan kebutuhan spesifik di tiap wilayah.

Selain melalui earmarking, ada pula peluang pendanaan tambahan secara fiskal, yaitu dengan implementasi segera cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang sudah tertunda sekian lama. Selain untuk mengendalikan konsumsi minuman yang berisiko bagi kesehatan, penerimaan dari cukai MBDK dapat dialokasikan langsung untuk mendanai MBG.

Menurut analisis Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), pengenaan cukai MBDK di Indonesia berpotensi menghasilkan penerimaan hingga Rp6 triliun per tahun. Jika setidaknya 20-30 persen penerimaan tersebut dialokasikan untuk MBG, hal ini akan sedikit meringankan beban pendanaan program tersebut.

Selain itu, urgensi pengenaan cukai MBDK bukan sekadar jumlah dana yang bisa terkumpul. Data dari Riset Kesehatan Dasar (2018) menunjukkan bahwa konsumsi MBDK masih cukup tinggi di kalangan anak-anak sekolah. Dua dari tiga anak-anak dan remaja berusia 5-19 tahun (66 persen) mengonsumsi MBDK sekali sehari atau lebih. Karenanya, implementasi cukai MBDK relevan untuk segera diterapkan demi menekan dampak kesehatan jangka panjang sekaligus menyokong dana untuk program nutrisi mereka.

Dengan demikian, daripada mengutak-atik zakat untuk program MBG, lebih baik pemerintah memanfaatkan instrumen pajak yang sudah terbukti penggunaannya lebih fleksibel dan pajak dapat menjadi solusi yang lebih ajeg dan berkelanjutan dalam mendukung program tersebut.

Cukai rokok

Sejumlah pihak mengusulkan kenaikan tarif cukai rokok di tahun 2025 ini untuk memberikan dampak positif pada penerimaan negara. Dengan kenaikan tarif tersebut, kelebihan target penerimaan dari cukai rokok dapat digunakan untuk menutupi kekurangan anggaran pada program-program strategis semacam MBG.

Namun, penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) telah diatur secara ketat di Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/2021 (PMK 215/2021). Alokasi DBH CHT sebagian besar diarahkan untuk bidang kesejahteraan masyarakat (50 persen), kesehatan (40 persen), dan penegakan hukum cukai ilegal (10 persen).

Saat ini, tidak ada ruang eksplisit di PMK tersebut yang memungkinkan penggunaan hasil cukai rokok secara langsung bagi program MBG. Akan tetapi, jika pemerintah ingin memanfaatkan hasil cukai rokok secara serius untuk mendanai program MBG, salah satu opsinya adalah merevisi PMK 215/2021.

Revisi tersebut perlu mencakup pengalokasian sebagian dari porsi DBH CHT untuk program-program kesejahteraan masyarakat yang berfokus pada penyediaan makanan bergizi gratis. Namun, alokasi untuk bidang kesehatan dan kesejahteraan lainnya perlu tetap dijaga.

Alternatif lainnya yaitu membuat program MBG masuk ke dalam kategori yang sudah ada dalam alokasi DBH CHT. Misalnya, pembinaan lingkungan sosial atau kesejahteraan masyarakat.

Jika demikian, program MBG bisa tetap mendapatkan pendanaan dari DBH CHT tanpa harus mengubah struktur alokasi secara keseluruhan. Terkait hal ini, koordinasi lintas sektor dan kajian di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selaku instansi utama yang akan terdampak sangat dibutuhkan demi memastikan program MBG tetap sejalan dengan prioritas yang telah ditetapkan.

*) Ismail Khozen adalah Manajer Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies, Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia

Copyright © ANTARA 2025