Istanbul (ANTARA) - Mobilisasi rakyat di Jalur Gaza dapat mendorong Kepala Otoritas Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump keluar dari jalur mereka, kata seorang mantan pelapor khusus PBB Richard Falk.

Falk dalam konferensi tentang Palestina di Universitas Istanbul, Senin (17/2) mengatakan bahwa titik di mana keputusasaan dalam situasi ini sudah mencapai sedemikian rupa.

“Sehingga hanya mobilisasi orang-orang yang dapat mempengaruhi perilaku pemerintahan berpengaruh yang dapat menghasilkan sejumlah perubahan mendasar untuk menghindari jalur yang tampaknya sedang ditempuh oleh Netanyahu dan Trump saat ini," katanya.

Falk yang telah lama tertarik dengan isu Palestina dan menentang kebijakan pemerintah AS dalam masalah ini selama beberapa dekade, menggambarkan rencana Trump untuk masa depan Gaza sebagai visi yang suram.

Trump telah berulang kali menyerukan untuk mengambil alih Gaza dan memukimkan kembali penduduknya guna mengembangkan wilayah itu menjadi apa yang ia sebut sebagai "Riviera Timur Tengah."

Gagasan tersebut ditolak keras oleh dunia Arab dan banyak negara lain, yang mengatakan hal itu sama saja dengan pembersihan etnis.

“Dukungan Trump yang eksplisit terhadap apa yang telah dilakukan Israel di Gaza cukup mengerikan, karena hal itu justru menghukum korban,” ucapnya.

"Dan disisi lain, hal ini tampaknya mengubah Gaza menjadi proyek properti raksasa yang akan memperkaya investasi konstruksi dan akhirnya menciptakan apa yang disebut sebagai 'Riviera Timur Tengah'," kata Falk.

Berbicara tentang badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), ia mengatakan upaya kemanusiaan UNRWA tidak boleh diremehkan.

"Itulah komitmen saya dan komitmen Tribunal Gaza. Ini juga merupakan komitmen yang harus memberikan rakyat Palestina kendali atas masa depan mereka sendiri," tambahnya.

Mengenai rencana Trump untuk mengambil alih Gaza, Falk mengatakan Trump selalu mencari kesepakatan dan mungkin ini hanyalah cara membuka negosiasi untuk masa depan di mana AS bertindak sebagai protektorat.

Ia menyebut ada proposal lain, termasuk dari Turki yang mengusulkan bentuk protektorat alternatif yang dikelola Turki atas nama rakyat Palestina.

"Jika saya orang Palestina, saya pasti lebih memilih itu daripada gagasan Trump," tegasnya.

Usulan Trump muncul setelah kesepakata gencatan senjata diberlakukan di Gaza pada 19 Januari, menghentikan sementara serangan Israel yang telah berlangsung selama 15 bulan, menewaskan lebih dari 48.000 orang, dan menghancurkan wilayah kantong tersebut.

Sumber : Anadolu

Baca juga: Pasca perang, Kementerian kesehatan ingatkan krisis Oksigen di RS Gaza

Baca juga: Mesir: Rencana rekonstruksi Gaza disusun bersama Palestina dan Arab

Baca juga: China soroti pentingnya solusi dua negara atasi isu di Timur Tengah

Penerjemah: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025