Jakarta (ANTARA News) - Film Indonesia dalam fungsinya sebagai aset diplomasi publik untuk menunjukkan Indonesia pada dunia harus memuat konten dan nilai-nilai lokal baik itu secara politik, sosial, dan budaya, kata sutradara ternama Riri Riza.

Ia menyebutkan tradisi dan nilai budaya Indonesia, salah satunya tradisi seni wayang orang Jawa, dapat dinikmati melalui karyanya yang berjudul Drupadi.

"Drupadi merupakan karya hibrida yaitu kombinasi antara aspek sinematik dan seni pertunjukan," ujarnya di Jakarta, Rabu.

Film berdurasi 45 menit ini, lanjutnya, dibuat berdasarkan ide dari penulis terkenal Leila S. Chudori dan proses pembuatannya bekerjasama dengan sanggar tari di Yogyakarta milik Bagong Kussudiardja.

Film ini mengadaptasi salah satu bagian dari epik terkenal Mahabarata di mana tokoh utamanya yaitu Drupadi, memperjuangkan kebebasannya setelah menjadi abdi Kurawa karena kekalahan Yudistira (Pandawa) dalam sebuah permainan dadu.

Drupadi merupakan sebuah simbol di mana seorang wanita memperjuangkan sebuah dunia yang didukung keadilan dan persamaan hak di era modern seperti saat ini.

"Film-film seperti Drupadi ini sifatnya timeless dan memiliki peminat tersendiri di jaringan yang bukan komersil," tutur pria bernama lengkap Mohammad Rivai Riza itu.

Meskipun tidak dipasarkan secara luas, namun Riri masih saja menerima permintaan atas pemutaran Drupadi dari berbagai instansi dan festival film sejak kali pertama film ini dirilis perdana di Jakarta International Film Festival dan Hong Kong Film Festival pada 2009.

Menyadari sifatnya yang timeless maka film yang dibintangi aktor dan aktris ternama seperti Dian Sastro (Drupadi), Nicholas Saputra (Arjuna), Ario Bayu (Bima), dan Dwi Sasono (Yudistira), ini direkam dalam format celluloid agar bisa disimpan dalam jangka waktu puluhan hingga ratusan tahun.

"Indonesia punya banyak potensi film-film klasik yang sayangnya sebagian besar disimpan dalam kualitas yang tidak terlalu baik," ujar sutradara Laskar Pelangi itu.

Film-film klasik seperti "Lewat Djam Malam" karya Usmar Ismail, "Anak Perawan di Sarang Penjamun" karya Usmar Ismail, dan "Koboi Cengeng" karya Nya Abbas Akup saat ini disimpan di Sinematek Indonesia dalam bentuk canon atau rol pita film.

"Canon-canon film ini harus diselamatkan dengan merestorasi, mendigitalisasi, kemudian dikemas dalam sebuah paket yang baik sehingga bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya," tuturnya.

Film lain yang menurutnya bisa merepresentasikan Indonesia dengan baik adalah "Cahaya dari Timur: Beta Maluku" karya Angga Dwimas Sasongko karena dalam film tersebut ditunjukkan bagaimana menyelesaikan konflik agama dengan sepak bola.

"Film itu adalah film pertama yang bercerita tentang konflik horizontal di Maluku, sebuah realita yang dihadapi bangsa kita, namun akhirnya bisa diselesaikan melalui pendekatan budaya dan olahraga," kata sutradara "Laskar Pelangi" itu.

Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014