"Cest la vie (begitulah hidup), saya tidak sengaja mengenal animasi," kata sutradara dan produser film Prancis, Jacques-Remy Girerd.

"Tadinya hanya membuat satu-dua film, tidak terasa jadi seratus," katanya lalu tersenyum.

Sebelum mendalami animasi, Girerd hanya mempelajari gambar dan ukir patung di Sekolah Seni Rupa Lyon yang dia masuki tahun 1974.

Kala itu belum banyak pembuat karya animasi yang menjadi inspirasinya karena industri kreatif tersebut belum begitu berkembang.

"Hanya ada film-film Disney," kata dia.

Meski demikian animasi Amerika Serikat tidak menjadi kiblatnya dalam berkarya. Ia lebih menyukai animasi Eropa.

Menurut dia animasi Eropa lebih memberikan ruang untuk mengembangkan kreativitas, misalnya lewat teknik gambar manual. Berbeda dengan animasi Amerika Serikat yang menurut dia banyak mengandalkan teknik digital.

"Animasi Eropa itu beragam, tidak ada yang seragam," ungkap dia.

Girerd sudah membuat banyak karya animasi. Ia menelurkan beragam karya lewat studio animasi Folimage yang dia bentuk tahun 1981.

Studio itu telah menghasilkan lebih dari 60 judul film pendek dan film panjang, serial televisi, dan produksi film kredit yang ditujukan untuk penonton segala usia.

Beberapa karya animasi Girerd mendapat penghargaan, termasuk di antaranya "Mia et le Migou" (Mia and the Migoo) yang dinobatkan sebagai The Best Animated Feature di ajang European Film Awards pada 2009.

Setahun kemudian, film "Une Vie de Chat" (A Cat in Paris) juga masuk nominasi penghargaan Oscar kategori film animasi terbaik.

Tidak hanya membuat film pendek, pria yang lahir di Loire pada Maret 1952 itu juga menyutradarai tiga film panjang seperti "La Prophetie des Grenouilles" (Raining Cats and Frogs) dan "Tante Hilda!" yang lolos kompetisi Berlinale 2014.

Salah satu ciri khas dari karya Girerd adalah mengemas isu penting dalam film yang ringan nan menghibur. 

Ciri khas itu terlihat dalam film "Mia et le Migou", yang menyiratkan isu penggundulan hutan.

"Mia et le Migou" berkisah tentang Mia, gadis kecil berusia 10 tahun yang pergi meninggalkan desanya di Amerika Selatan untuk mencari sang ayah, yang bekerja di proyek pembangunan yang mengubah hutan tropis menjadi kompleks hotel mewah.

Sebelum bertemu ayahnya, Mia harus menaklukkan gunung beserta hutan dan penghuninya yang misterius.

"Saya sering mengangkat tema tragicomedy. Ceritanya tragis tapi ada unsur humor," ujar dia.

Sebagai seorang pembuat animasi sekaligus ayah dari empat anak, Girerd terpacu untuk membuat tontonan generasi muda yang bermanfaat.

Ada kepuasan tersendiri saat buah hatinya dapat menyaksikan karyanya di layar kaca maupun layar lebar.

"Saya tidak terlalu memikirkan marketing, tapi tentang apa yang patut dan ingin ditonton anak saya," ujar dia.

Dia juga menularkan ilmunya melalui sekolah animasi
Sekolah La Poudrière
La Poudriere yang digagas pada 1999.
Sekolah La Poudrière

"Hingga sekarang belum ada siswa dari Indonesia, mungkin akan ada kelak," ujar pria yang menjadi bintang tamu di Festival Sinema Prancis 2014 untuk memberikan kuliah umum tentang animasi.


Kendala Dana dan Publisitas

Girerd mengatakan salah satu hal penting dalam produksi film adalah publisitas. Meskipun demikian, ia mengakui publisitas animasi Prancis belum segencar animasi Amerika Serikat.

Dia menganalogikan dana yang dikeluarkan untuk memproduksi animasi Prancis setara dengan dana publisitas animasi Amerika Serikat.

"Contohnya film Mia and the Migoo, memang go international tapi publikasi kurang. Jadi, hasilnya tidak besar," kata dia.

Namun, menurut dia, pemerintah Prancis telah membantu menghidupkan iklim industri kreatif animasi lewat Centre National du Cinema et de Limage Animee (Badan Perfilman Prancis).

"Sehingga Prancis menjadi produsen film animasi ketiga terbesar di dunia dan pertama di Eropa," jelas dia.

Girerd tentunya ingin agar filmnya ditonton banyak penonton di berbagai penjuru dunia. Namun tidak semua negara bisa menayangkan filmnya secara legal sehingga penonton dari luar Prancis terpaksa menikmatinya lewat film bajakan.

 Kondisi itu menjadi dilema bagi Girerd. Di satu sisi dia menganggap itu merupakan aksi kejahatan yang merugikan seniman, di sisi lain dia menyadari kadang pembajakan merupakan satu-satunya cara agar filmnya dikenal di tempat lain.

"Lantas saya harus berbuat apa?" tanyanya retoris.


Tentang Animasi Indonesia

Girerd menyambangi Indonesia untuk memberikan kuliah umum tentang animasi dalam ajang Festival Sinema Prancis 2014 yang berlangsung 4-7 Desember di Jakarta, Bandung, Balikpapan, Bali, Makassar, Malang, Medan, Surabaya dan Yogyakarta. Beberapa filmnya diputar selama festival.

Dia mengaku belum banyak menonton animasi Indonesia, namun dia optimistis animasi Tanah Air dapat diputar di Prancis bila kualitasnya sudah bisa mencapai standar internasional.

"Tidak ada sistem perlindungan terhadap sinema luar karena kami sangat terbuka. Masyarakat Prancis dapat menonton banyak film dari negara lain seperti Tiongkok, Jepang, Rusia dan sebagainya," kata dia.

Untuk membuat karya animasi sukses, Girerd mengatakan para pembuat animasi harus membuat karakter yang dapat merebut hati penonton.

"Buatlah tokoh penting dalam film yang bisa menjadi terkenal, bahkan melebihi filmnya," kata dia.

"Misalnya Mickey (Mouse) yang karakternya 'hidup'," lanjutnya.

Selain itu, dia berpesan kepada para pembuat animasi untuk memanfaatkan kekayaan budaya dalam menciptakan karya.

"Tapi tetaplah membuat sesuatu yang bisa diterima secara universal," kata dia.


Oleh Nanien Yuniar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014