Jakarta (ANTARA News) - Budayawan sekaligus guru besar Institut Kesenian Jakarta Julianti Parani PhD mengatakan bahwa Tari Cokek yang sekarang banyak dikenal masyarakat bukanlah melulu terkait dengan erotisme.

Oleh sebab itu, para budayawan bersama Dewan Kesenian Jakarta membuat acara "Telisik Tari" yang berusaha mengungkap sejarah dan makna-makna di balik tarian Betawi.

"Di Balik Tari Cokek yang kita kenal sekarang ini ada nilai-nilai budaya yang luhur," kata Julianti dalam seminar "Telisik Tari" di Jakarta, Senin.

Sayangnya, kata Julianti, nilai-nilai positif yang ada di dalam tari tersebut tersembunyi di balik konotasi negatif yang terlanjur terbentuk di masyarakat.

"Nilai positifnya sekarang tersembunyi dan selalu nilai-nilai negatif seperti plesiran yang muncul. Oleh karena itu pada kesempatan begini kita ingin menunjukkan pada seniman dan masyarakat agar nilai positif itu diangkat lagi," kata Julianti.

Tari Cokek sendiri, menurut Julianti, berakar dari Tari Sipatmo yang merupakan tarian yang sarat akan simbol keagamaan dan budaya peranakan Tionghoa Betawi.

"Kita ingin Tari Cokek dikembalikan lagi pada Tari Sipatmo itu. Ini kan sayang sekali, karena termakan zaman, nilai hiburannya yang lebih muncul. Kita lupa makna sesungguhnya," kata dia.

Tari Sipatmo yang merupakan akar Tari Cokek, menurut Budayawan Rachmat Ruchiat, sudah tak pernah ditampilkan sejak 1950-an.

"Masyarakat peranakan Tionghoa di wilayah Budaya Betawi tak begitu tertarik menampilkan tari ini dan lebih senang dengan apa yang dikenal dengan Tari Cokek sebagai tari pergaulan dengan kedudukan laki-laki pengibing lebih tinggi dari penari wanita, para cokek menari asal goyang dan seringkali erotis," kata Rachmat.

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014