Jakarta (ANTARA) - Puasa Ramadhan bagi umat muslim bukan semata ritual spiritual. Di balik praktik menahan lapar dan dahaga ini, tersimpan serangkaian proses biologis menakjubkan yang menarik minat para peneliti di berbagai disiplin ilmu, termasuk bidang Nanoimunobiotechnomedicine (NiBTM).

NiBTM adalah kolaborasi pelbagai cabang ilmu pengetahuan modern, seperti nanoteknologi, imunologi, bioinformatika, medis, teknologi dasar dan aplikasi, neurosains, untuk memecahkan problematika mendasar yang seringkali dijumpai di dalam ilmu dasar.

Dari sudut pandang NiBTM, puasa Ramadhan bukanlah sekadar pengekangan diri, melainkan juga “laboratorium” alami bagi tubuh yang menimbulkan perubahan signifikan pada sistem imun, metabolisme, dan bahkan ekspresi gen.

Setiap terbitnya fajar di bulan Ramadhan, kita disuguhkan pemandangan yang telah terulang selama berabad-abad: orang-orang bangun lebih awal, menikmati santap sahur, lalu berpuasa hingga matahari terbenam. Pada tahap ini, tubuh mulai beradaptasi dan memasuki fase berbeda dari kebiasaan harian biasa. Inilah momen ketika metabolisme mengalihkan “modus operandi” ke dalam keadaan yang lebih efisien dan hemat energi, karena asupan kalori akan berhenti masuk selama beberapa jam ke depan.

Dari sudut pandang kedokteran molekuler, setelah beberapa jam berpuasa, simpanan glikogen (gugus karbohidrat cadangan) yang tersimpan di hati (liver) akan mulai dicerna. Saat persediaan glikogen menipis, tubuh akan mengalihkan sumber energi menuju pembakaran lemak melalui proses ketosis (keadaan metabolik ketika tubuh menggunakan lemak sebagai bahan bakar utama). Ketosis sebenarnya mencerminkan transformasi biokimia yang melibatkan ribuan enzim dan protein dalam sel.

Di saat yang sama, gen-gen yang terkait dengan metabolisme lemak dan proses daur ulang komponen sel kian aktif, sedangkan gen-gen yang memicu peradangan berangsur menurun. Gambaran ini memperlihatkan “orkestra molekuler” di dalam tubuh yang sedang menyesuaikan diri dengan ritme puasa, bak simfoni yang menenangkan di tengah kesibukan sel.

Nanoteknologi: “Minilaboratorium”

Puasa Ramadhan dapat dianggap sebagai “pabrik nano” yang beroperasi secara alami dalam tubuh. Pada tingkat nanometer, sel-sel imun kita mulai beradaptasi. Kemampuan sistem imun untuk meningkatkan efisiensi pertahanan di saat asupan energi terbatas menunjukkan adanya proses yang diatur sangat cermat. Dalam ranah nanoteknologi, mekanisme ini mirip dengan bagaimana nanopartikel cerdas dirancang agar dapat membawa obat tepat sasaran secara efisien.

Saat puasa, proses pembersihan dan perbaikan sel berjalan lebih aktif. Bagaikan sistem daur ulang yang sangat presisi: sampah organik diurai menjadi komponen-komponen dasar yang bisa dimanfaatkan kembali untuk menunjang kesehatan sel.

Menariknya, sejumlah penelitian modern juga mengaitkan puasa dengan peningkatan produksi senyawa antioksidan endogen (dibuat oleh tubuh sendiri) yang mampu meredam radikal bebas. Dari kacamata nanomedicine (penggunaan nanoteknologi untuk tujuan medis), peningkatan aktivitas antioksidan dapat digambarkan sebagai perisai nano yang melindungi sel dari kerusakan oksidatif, memperpanjang umur sel sekaligus mencegah penuaan dini.

Semua proses ini terjadi di minilaboratorium, di mana setiap molekul memiliki peran tertentu dan segala sesuatunya diatur oleh sinyal kimia yang begitu halus.

Menaklukkan inflamasi

Puasa Ramadhan sering dikaitkan dengan ketenangan batin dan pengendalian emosi. Menariknya, di level biologis, puasa juga berkaitan dengan penurunan peradangan (inflammation) di dalam tubuh. Peradangan kronis, kerap disebut sebagai “silent killer,” adalah kondisi di mana sistem imun kita terus-menerus berstatus siaga, menghasilkan sitokin proinflamasi yang merugikan dan berpotensi memicu penyakit serius seperti diabetes, penyakit jantung, hingga kanker.

Selama puasa, tubuh seolah melakukan “reboot” pada sistem kekebalan. Ketika peradangan menurun, sel-sel imun dapat lebih fokus menjalankan fungsi utama: mengenali patogen berbahaya. Ini mirip dengan teknologi nano-delivery (teknologi penghantaran obat dalam partikel nano) yang dirancang khusus agar zat aktif yang bermanfaat hanya diarahkan ke sel target yang sakit, tanpa mengganggu sel sehat. Puasa pun, dengan cara alamiah, menurunkan “gangguan” sistemik, sehingga sistem pertahanan tubuh bekerja jauh lebih efektif dan efisien.

Tak berhenti di situ, microbiome (komunitas bakteri di usus) juga mengalami “perbaikan besar” selama bulan Ramadhan. Variasi dan keseimbangan bakteri usus kerap meningkat karena perubahan pola makan—dari frekuensi tinggi ke frekuensi yang lebih jarang namun tetap bernutrisi saat sahur dan berbuka. Bakteri “baik” seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus cenderung berkembang, membantu proses pencernaan serta memproduksi metabolit bermanfaat, misalnya asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acids) yang memperbaiki kesehatan sel usus.

Keseluruhan adaptasi ini menguatkan sistem imun, menghalau peradangan, serta meningkatkan penyerapan nutrisi.

Keajaiban biologis selama puasa Ramadhan tidak hanya memperbaiki kondisi kesehatan secara umum, melainkan juga membukakan pintu pada kemungkinan terapi penyakit. Dalam kacamata nanomedicine, perubahan signifikan dalam metabolisme sel dan peningkatan proses autophagy saat puasa memberikan jendela kesempatan bagi pengantaran obat yang lebih efisien. Jika tubuh sedang berada dalam kondisi “pembersihan,” maka kombinasi puasa dengan terapi farmasi tertentu bisa meningkatkan penyerapan dan pemanfaatan obat.

Misalnya, pada beberapa kasus gangguan metabolik atau autoimun, puasa dapat membantu menekan aktivitas sel-sel imun yang terlalu aktif. Bersamaan dengan itu, terapi berbasis nanopartikel (misalnya lipid nanoparticles) dapat disuntikkan untuk memblokade molekul proinflamasi secara tepat sasaran. Hasilnya, kerja obat bisa lebih spesifik, sehingga efek sampingnya berkurang.

Selain itu, penelitian terkini dalam bidang genomics dan transcriptomics juga memberikan wawasan baru tentang bagaimana puasa Ramadan memengaruhi proses mutasi sel. Sejumlah tanda menunjukkan bahwa proses koreksi DNA (DNA repair) berjalan lebih lancar saat tubuh berada pada kondisi puasa, menurunkan risiko kerusakan genetik yang bisa memicu kanker. Dengan teknik gene editing (modifikasi gen) dan CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats), mungkin di masa depan, kita dapat menggabungkan pendekatan puasa dengan teknologi penyuntingan gen untuk memerangi sel kanker yang bandel.

Merangkul kearifan lokal berbasis teknologi

Bagi masyarakat Indonesia, puasa Ramadan bukan hal asing. Ia telah mendarah daging di tengah tradisi keagamaan sekaligus sosial. Namun, di era teknologi maju ini, semakin banyak bukti ilmiah yang membenarkan manfaat puasa bagi kesehatan. Melalui paradigma NiBTM, puasa ibarat “master switch” yang mengatur ulang sistem tubuh, meremajakan sel, serta menyeimbangkan imunomodulasi (pengaturan sistem imun).

Selain itu, korelasi antara puasa dengan penurunan risiko penyakit metabolik dan autoimun menegaskan bahwa puasa bukan hanya persoalan spiritual, tapi juga investasi kesehatan jangka panjang. Kita pun dihadapkan pada peluang untuk mengembangkan riset kolaboratif antara ilmuwan biologi molekuler, dokter, ahli gizi, dan insinyur nanoteknologi guna memaksimalkan manfaat puasa. Bukan hal mustahil jika di masa depan akan muncul “puasa terarah,” kombinasi pantauan digital berbasis aplikasi dan perangkat wearable (alat yang dapat dikenakan) untuk mengatur jadwal makan-minum, memantau kadar glukosa, serta menentukan momen ideal mengonsumsi obat tertentu.

Puasa Ramadhan selalu dikaitkan dengan pengendalian hawa nafsu, pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta melatih kepekaan sosial terhadap mereka yang kekurangan. Dalam lapisan yang lebih dalam, ada “kerja sunyi” sel-sel tubuh yang tengah bergiat, menata ulang sistem metabolik dan imunologi, serta menebar harmoni hingga ke tingkat molekuler. Dari sudut pandang NiBTM, puasa serupa “teater mikro” yang menyuguhkan drama kompleks, melibatkan miliaran sel, ribuan gen, dan segudang sinyal kimia yang berperan seperti sutradara, aktor, serta kru panggung.

Inilah bukti bahwa ajaran yang tertanam begitu kuat dalam tradisi Islam juga selaras dengan penemuan ilmiah serta teknologi terkini. Bagi masyarakat awam, pemahaman ini dapat menambah keyakinan bahwa puasa bukanlah sekadar menahan lapar-dahaga, tetapi juga cara tubuh berventilasi, membebaskan diri dari polusi seluler, dan merajut kembali jejaring gen yang sempat kusut.

Di akhir perjalanan, kita mendapati bahwa puasa Ramadhan bukanlah sekadar tradisi, melainkan gerbang pembuka keajaiban nanoteknologi, biologi molekuler, dan segala bentuk riset mutakhir yang terus menggali rahasia tubuh manusia. Hasilnya, sederet penemuan dan pemahaman baru yang mendorong kita untuk semakin bersyukur atas apa yang Allah ciptakan dalam diri kita. Semoga Ramadhan tidak hanya menjadi bulan peningkatan spiritual, tetapi juga laboratorium raksasa yang menggelorakan pemikiran ilmiah, memupuk kesehatan, dan membawa kita menuju harmoni antara sains dan iman.

*) Dokter Dito Anurogo MSc PhD, alumnus IPCTRM College of Medicine TMU Taiwan, dosen tetap di FKIK Unismuh Makassar Indonesia, peneliti di Institut Molekul Indonesia, kolumnis berbagai media nasional.

Copyright © ANTARA 2025