Karena pemerintah telah membatasi diskon tarif listrik untuk periode dua bulan, kami terus memperkirakan inflasi akan tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia sebesar 1,5 - 3,5 persen pada akhir 2025, kecuali jika kebijakan tersebut diperpanj

Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan tingkat inflasi Indonesia akan kembali meningkat menjadi 2,33 persen pada akhir 2025, naik dari 1,57 persen pada akhir 2024.

Proyeksi ini mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk berakhirnya diskon tarif listrik serta tekanan dari permintaan domestik hingga depresiasi rupiah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indonesia mengalami deflasi tahunan sebesar 0,09 persen secara tahunan pada Februari 2025. Ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak deflasi tahunan terakhir tercatat pada Maret 2000.

“Karena pemerintah telah membatasi diskon tarif listrik untuk periode dua bulan, kami terus memperkirakan inflasi akan tetap berada dalam kisaran target Bank Indonesia sebesar 1,5 - 3,5 persen pada akhir 2025, kecuali jika kebijakan tersebut diperpanjang untuk seluruh tahun,” kata Josua kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

Josua menjelaskan, deflasi yang terjadi sepanjang awal 2025, terutama hingga Februari, dipengaruhi oleh pemberian diskon tarif listrik.

Data menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) secara year-to-date (ytd) hingga Februari mencatat deflasi sebesar 1,24 persen. Diskon tarif listrik sendiri menyumbang deflasi sebesar 1,47 persen pada Januari dan 0,67 persen pada Februari. Jika tidak memperhitungkan dampak dari kebijakan tersebut, inflasi ytd seharusnya mencapai 0,9 persen.

“Diskon ini tetap menjadi faktor dominan di balik deflasi, dimana diskon listrik terhadap pengguna prabayar sudah terefleksi di Januari yang lalu sementara dampak diskon listrik terhadap pengguna pasca bayar baru terefleksi pada deflasi di Februari 2025. Dengan demikian, indeks harga yang diatur pemerintah (AP) terus mencatat deflasi,” katanya.

Namun, dengan berakhirnya diskon tarif listrik, terdapat potensi normalisasi berupa kenaikan inflasi sebesar 2,14 persen. Selain itu, tekanan inflasi juga diperkirakan datang dari pemulihan permintaan domestik yang terus berlanjut serta inflasi harga impor (mported inflation) akibat depresiasi rupiah.

“Di luar faktor yang didorong oleh kebijakan, kami mengantisipasi tekanan inflasi yang berasal dari pemulihan permintaan konsumen yang sedang berlangsung, yang dapat berkontribusi pada inflasi sisi permintaan yang moderat. Selain itu, depresiasi rupiah diperkirakan akan mendorong terjadinya imported inflation, yang akan menambah tekanan harga secara keseluruhan,” tuturnya.

Adapun Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa memang deflasi yang terjadi sebagian besar dipengaruhi oleh diskon tarif listrik 50 persen bagi pelanggan PLN dengan daya 2.200 volt ampere (VA) atau lebih rendah.

Komponen harga diatur pemerintah (administered price) mengalami deflasi sebesar 9,02 persen (yoy), memberikan kontribusi deflasi sebesar 1,77 persen (yoy).

Meskipun demikian, dua komponen lainnya, yaitu inflasi inti (core inflation) dan komponen harga bergejolak, masih mencatat kenaikan harga secara tahunan.

Inflasi inti meningkat menjadi 2,48 persen (yoy) pada Februari 2025, sementara inflasi harga bergejolak berada di level 0,56 persen yoy.

Sejumlah komoditas pangan, seperti cabai rawit, bawang putih, dan ikan segar, masih mengalami kenaikan harga, memberikan kontribusi terhadap inflasi tahunan.

“Biasanya daya beli itu dikaitkannya dengan komponen inti. Komponen inti ini memberikan andil inflasi terbesar dengan andil (kontribusi) terhadap (nilai) inflasi (tahunan) sebesar 1,58 persen,” ucapnya.

Ia mengatakan bahwa sejumlah komoditas pangan dan tembakau juga masih mengalami inflasi secara tahunan, seperti cabai rawit, bawang putih, kangkung, bawang merah, ikan segar, minyak goreng, kopi bubuk, sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret kretek mesin (SKM), sehingga menyebabkan inflasi pada komponen harga bergejolak.

“Komponen harga bergejolak mengalami inflasi (tahunan) sebesar 0,56 persen (yoy) dengan andil (kontribusi terhadap nilai) inflasi (tahunan) hanya sebesar 0,10 persen,” tuturnya.

Amalia menyampaikan bahwa pada Februari 2025 terjadi deflasi secara bulanan sebesar 0,48 persen secara bulanan (mtm) dengan penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 105,99 pada Januari 2025 menjadi 105,48 pada Februari 2025.

“Secara year-on-year (tahunan) juga terjadi deflasi sebesar 0,09 persen dan secara tahun kalender (year-to-date/ytd) mengalami deflasi sebesar 1,24 persen,” ujarnya.

Baca juga: BPS sebut beras beri andil 0,11 persen deflasi tahunan Februari 2025

Baca juga: BPS: Diskon tarif listrik beri andil terbesar deflasi Februari 2025

Baca juga: BPS sebut deflasi Februari 2025 pertama kali sejak Maret 2000

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2025