Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyinggung soal sistem pemilu secara hybrid sebagai opsi dalam memperbaiki sistem pemilu di tanah air, utamanya guna mengurangi persaingan yang terlalu berlebih di dalam internal partai politik.
"Untuk mengurangi persaingan yang terlalu berlebih, terutama di dalam internal partai, itu bisa diberikan dua opsi. Jadi opsi ada yang disebut sebagai proporsional terbuka, ada yang proporsional tertutup. Jadi hybrid, kurang lebih hybrid," kata Dede di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Baca juga: Komisi II soroti politik uang dalam perbaikan sistem pemilu Indonesia
Hal itu disampaikannya usai memimpin jalannya rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu untuk revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Dia mengatakan bahwa penerapan sistem pemilu secara hybrid akan mengakomodasi masyarakat untuk memilih partai politik dan memilih calon.
"Sehingga dari situ partai punya opsi untuk menentukan mana kader-kader yang bisa diberikan kesempatan," ucapnya.
Di samping soal teknis sistem pemilu, Dede juga menilai perlu adanya pembenahan database daftar pemilih tetap (DPT) yang akan menyumbangkan hak suaranya dalam pemilu.
"Database kita yang masih berantakan karena angka suara tidak sah mencapai 15 juta lebih, 15 juta lebih ini berarti kan sangat signifikan sekali. Itu adalah sebagai bukti kekurangcermatan para penyelenggara ataupun juga database yang ada," ujarnya.
Menurut dia, database DPT perlu dilakukan penyisiran secara berkala guna meminimalisir jumlah suara tidak sah pada pemilu.
"Harus ada screening setiap satu tahun atau setiap enam bulan itu di-screening kembali oleh kawan-kawan penyelenggara," ucapnya.
Baca juga: Wamendagri tegaskan revisi UU Pemilu masih dikaji
Terakhir, dia menyebut perbaikan sistem pemilu perlu dibarengi pula dengan upaya mengatasi persoalan politik uang (money politics) yang marak terjadi tiap kali pemilu dihelat.
"Terlalu banyak calon yang tidak diketahui oleh masyarakat, akhirnya berlomba-lomba menawarkan transaksional, dan ketika opsinya makin banyak, masyarakat pun akhirnya jadinya seperti milih mana yang lebih besar," tuturnya.
Meski demikian, dia menekankan pihaknya membutuhkan waktu dan kecermatan untuk dapat mengatasi persoalan politik uang dalam pemilu di tanah air.
"Membutuhkan waktu yang tidak cepat, tidak terburu-buru, sehingga kelihatannya harus benar-benar dilakukan melalui sebuah proses yang matang dan tidak tergesa-gesa," kata dia.
Baca juga: Anggota DPR usul terapkan e-voting Pemilu 2029 untuk tekan biaya
Baca juga: Komisi II DPR: Revisi UU Pemilu perlu pisahkan DKPP dari Kemendagri
Baca juga: Wamendagri buka peluang revisi UU Parpol terkait dengan pemilu-pilkada
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.