Dr. Edi Darmawan sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian kemahiran berbahasa Inggris, TOEFL yang menjadi salah satu syarat untuk mencari beasiswa mengambil spesialisasi.

"Saya ingin menjadi spesialis anastesi," aku pria lajang yang berwajah bersih dan berpembawaan tenang dalam wawancara di rumahnya, pertengahan Desember.

Menerawang kehidupannya sepuluh tahun yang lalu, ia sering mengaku merasa mendapat berkah karena bisa terhindar dari bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Banda Aceh, 26 Desember 2004.

"Saat itu saya sedang menikmati saparan ketika terjadi gempa yang hebat kira-kira selama lima belas menit," katanya.

Edi saat itu berada di rumah guru mengajinya bernama Prof. Dr. Mukhsin Nyak Umar, SHI.MA, menginap untuk mengaji sejak Sabtu malam.

Mirip dengan cerita para penyintas yang lain mengenai tragedi itu, Edi yang kala itu masih berusia 18 tahun keluar rumah untuk memeriksa keadaan setelah merasakan guncangan bumi yang kencang dan berlanjut.

Beberapa waktu kemudian ia mendengar teriakan banyak orang yang mengajak berlari menjauh karena ada air laut naik.

"Saya tidak bisa membayangkan kata-kata mereka bahwa ada air laut yang naik," katanya.

Namun bersama beberapa rekan mengaji dan gurunya, Edi segera naik motor dan berpacu menuju arah Blang Bintang, dataran yang lebih tinggi dan menjauh dari arah pantai.

Banyak orang juga berlari ke arah yang sama dan semakin siang semakin banyak yang datang dengan membawa cerita mengenai tiang air hitam yang mengalir deras ke dalam kota.

Sampai tengah hari mereka berada di daerah Blang Bintang dan ketika kemudian Edi memutuskan untuk kembali ke kota Banda Aceh, ia bertemu dengan seorang teman mainnya yang menuju Blang Bintang yang mengabarkan bahwa kampung mereka sudah hancur.

Bayangan akan orang tua dan abang serta adik-adiknya membuat Edi nekat untuk pulang.

"Langkah saya dihentikan petugas polisi di Simpang Surabaya dan saat itu saya melihat suasana kota yang porak poranda, air hitam menggenang dan beberapa mayat korban tergeletak di kolong jembatan, puing-puing bangunan serta mobil terserak bertumpuk," kenangnya dengan pandangan mata menerawang.

Hari itu ia terpaksa kembali ke tempat mengungsi dan keesokan paginya kembali ke kota, bertemu dengan abangnya, Fahmi Saputra, yang selamat karena Sabtu malam menginap di rumah rekannya.

Edi melanjutkan pencariannya ke beberapa tempat pengungsian dan bertemu dengan adik perempuannya yang selamat meski tubuhnya penuh luka dan mengenakan pakaian orang lain. Adiknya inilah yang sempat terseret arus air tetapi berhasil ditolong orang.

Adik perempuannya mengaku terpisah dengan adik bungsu mereka yang berlari lebih kencang. Beberapa hari kemudian adik bungsu itu berhasil ditemukan karena ditolong oleh satu keluarga yang mengungsi dengan mobil.

"Dia sempat syok sehingga diam saja selama dua hari, baru ketika ia berbicara dan mengatakan kampung asalnya, keluarga penolong bisa mengantarnya pulang," kata Edi.

Kedua orang tua Edi tidak pernah ditemukan kembali.

Sekelumit kisah duka itu diceritakan kembali oleh Edi yang mengaku bisa selamat karena ibunya bersikeras memaksa ia pergi mengaji kendati saat itu ia sebenarnya ingin tinggal di rumah untuk mengerjakan tugas kuliah.

"Sebenarnya cita-cita saya menjadi arsitek, tetapi mamak saya menyuruh saya kuliah kedokteran. Ayah saya pegawai biasa yang tidak punya banyak uang, sehingga mereka mengambil kredit untuk membiayai saya masuk kuliah," kenang Edi.

Nahasnya, uang kredit yang belum sempat digunakan itu ikut tersapu tsunami.

Bencana yang menghancurkan rumah tinggal dan kehidupan itu membuat Edi bangkit dan memanfaatkan beasiswa antara lain dari Asia Development Bank (ADB) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) serta bantuan hidup untuk melanjutkan kuliah bersama abang dan kedua adiknya.

Pascatsunami Aceh Edi tinggal bersama guru mengaji yang kini menjadi orang tua angkat dan salah seorang yang memotivasinya untuk melanjutkan pendidikan serta meniti karir.

"Alhamdullilah saya bisa selesai kuliah dengan cepat, empat tahun lalu co ass selama dua tahun. Adik perempuan juga lulus menjadi sarjana pertanian dan adik bungsu kini mulai masuk kuliah," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa abangnya yang merasa bertanggung jawab sebagai kepala keluarga, mengalami tekanan batin dan gagal menyelesaikan kuliahnya di fakultas teknik kimia.

"Edi sangat tekun belajar, bahkan ia sempat menjadi loper koran untuk mencari tambahan penghasilan, tetapi dia memang cerdas dan baik hati," kata Nirwana Mochtar, salah seorang kerabatnya.

Lulus menjadi dokter, Edi diterima bekerja di Rumah Sakit Zainal Abidin di Banda Aceh, dan tergerak menjadi relawan di bidang medis. Bahkan pemuda yang aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu juga menjajal hidup di Jakarta dengan bekerja di perusahaan swasta pada tahun 2012.

Tahun lalu ia kembali ke Aceh dan diterima kembali di RS Zainal Abidin tempat ia mengabdi di bagian perawatan intensif untuk dewasa.

"Amanah orang tua bila dijalankan dengan ikhlas akan berhasil," kata Edi yang merasa bersyukur karena bisa memenuhi keinginan orang tuanya untuk menjadi dokter.

Mengenai kisah hidupnya, Edi memetik pengalaman hidup yang luar biasa dan ia menyakini bahwa di balik bencana itu ada rencana Tuhan yang lebih baik.

"Jangan pernah takut untuk menghadapi masalah karena itu dapat membuat kita dewasa," ujarnya ketika menerima wawancara di rumah panggung Aceh, tempatnya tinggal bersama ayah angkatnya.

Rumah berdinding kayu dengan cat kuning itu berhiaskan kain satin kuning dengan aplikasi ornamen berwarna-warni serta sulam benang emas, seperti hiasan saat berpesta.

"Ayah yang menata, katanya agar kita bisa merasa pesta setiap hari," ujar dr. Edi yang saat itu mengenakan sarung, sambil duduk di atas karpet bercorak bebungaan menghadap meja bundar berkaki rendah.

Pandangan matanya kerap menerawang jauh, bicaranya tenang dan teratur.

Di rumah itu terdapat ruang perpustakaan dengan lemari buku penuh koleksi yang tertata rapi, lemari kaca berisi koleksi kristal dan penataan ruang yang bersih dan rapi.

Bagi Edi, bencana yang merenggut banyak nyawa itu juga membawa hikmah, misalnya Aceh menjadi dikenal dunia, orang Aceh bisa keluar rumah tanpa takut setelah konflik bersenjata berkepanjangan dan terciptanya perdamaian.

"Jangan larut dalam kesedihan, tetapi harus yakin dan berusaha dari diri sendiri untuk bangkit," kata dr. Edi Darmawan yang bersiap-siap untuk masuk dinas malam hari di rumah sakit.

Oleh Maria D. And
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014