Jakarta (ANTARA) - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyarankan adanya antisipasi atas potensi terjadinya deflasi musiman di Indonesia selama libur panjang.

“Biasanya, di dalam momen-momen musiman seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, masyarakat memiliki kultur yang kuat dalam meningkatkan permintaan (demand),” ungkapnya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.

Musim liburan panjang seharusnya menjadi momen peningkatan konsumsi karena masyarakat Indonesia memiliki budaya belanja yang kuat pada periode seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.

Jika terjadi deflasi, maka hal ini menunjukkan adanya dinamika dalam daya beli yang perlu diperhatikan lebih lanjut.

Dalam ilmu ekonomi, deflasi biasanya terjadi karena permintaan yang melemah.

Namun, fenomena ini juga dapat memberikan sinyal bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk lebih proaktif dalam meningkatkan daya beli masyarakat, menjaga kestabilan harga, serta memastikan distribusi barang dan jasa berjalan optimal.

Meskipun deflasi yang berlangsung secara berturut-turut perlu diantisipasi, kondisi ini juga mencerminkan peluang bagi kebijakan yang lebih inovatif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut dia, ketika daya beli masyarakat mengalami tekanan, ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk merancang strategi yang dapat memperkuat pendapatan dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.

“Jadi, memang deflasi kalau terjadi berturut-turut menjadi indikator pelemahan daya beli masyarakat,” kata Eko.

Menurutnya, deflasi lebih kepada tantangan yang dapat dikelola dengan kebijakan yang tepat. Jika inflasi menunjukkan tingginya permintaan yang perlu diseimbangkan dengan pasokan, maka deflasi menuntut peningkatan pendapatan agar kesejahteraan masyarakat terus terjaga.

Baca juga: Ekonom benarkan diskon listrik jadi faktor utama deflasi di awal 2025

Secara empirik, ucapnya, mengatasi deflasi itu lebih rumit daripada menangani inflasi.

Jika mengatasi inflasi, berarti masih ada permintaan yang kuat, tinggal bagaimana menambah persediaan, memperbaiki distribusi, dan menjaga harga tetap stabil.

Namun, kalau deflasi itu bersumber dari pendapatan yang mengalami penurunan atau tidak naik, sehingga cara memperbaiki keadaan tersebut harus membuat penghasilan meningkat terlebih dahulu dan menyediakan lapangan pekerjaan, lalu kesejahteraan meningkat, baru deflasi bisa teratasi.

Baca juga: Ekonom: Perlu lihat beberapa indikator untuk menilai daya beli

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti melaporkan bahwa Indonesia mengalami deflasi tahunan yang tercatat sebesar 0,09 persen year-on-year (yoy) pada Februari 2025. Kategori merupakan yang pertama kali terjadi sejak deflasi tahunan terakhir tercatat pada Maret 2000.

Deflasi pada Februari 2025 sebagian besar dipengaruhi oleh diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk pemakaian Januari dan Februari 2025 bagi pelanggan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan daya listrik 2.200 volt ampere (VA) atau lebih rendah yang termasuk dalam komponen harga diatur pemerintah.

Komponen harga diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 9,02 persen yoy, sehingga memberikan andil atau kontribusi terhadap nilai deflasi tahunan sebesar 1,77 persen. Adapun dua komponen lainnya, yakni komponen inti dan komponen bergejolak (volatile), masih mengalami inflasi secara tahunan.

Mengingat komponen inti masih mengalami inflasi sebesar 2,48 persen yoy, maka walaupun secara keseluruhan ekonomi Indonesia mengalami deflasi, tapi daya beli masyarakat masih relatif terjaga.

“Biasanya daya beli itu dikaitkannya dengan komponen inti. Komponen inti ini memberikan andil inflasi terbesar dengan andil (kontribusi) terhadap (nilai) inflasi (tahunan) sebesar 1,58 persen,” ucap Kepala BPS.

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2025