Setiap kali berkunjung ke pabrik gula (PG) di tanah air, yang didapat selalu bangunan-bangunan tua yang terlihat renta menahan gerusan waktu serta letih setelah bertahun-tahun melakukan aktivitas menggiling tebu.

Pabrik gula di Indonesia pada umumnya merupakan peninggalan penjajah Belanda sehingga usianya mencapai ratusan tahun. Selain usia lebih dari satu abad tersebut, bangunan pabrik yang umumnya berwarna putih semakin mengesankan kekakuan.

Namun melihat PG Gendis Multi Manis (GMM) Blora Jawa Tengah, semua kesan tersebut seolah sirna. Pekan lalu sejumlah wartawan ibu kota mendapat kesempatan melakukan kunjungan media ke pabrik gula yang baru diresmikan beroperasinya oleh Menteri Pertanian Suswono pada 4 Juni 2014.

Kesan yang pertama muncul di benak adalah kita tidak sedang melakukan peninjuan sebuah pabrik namun berjalan-jalan menikmati resort, tempat bercengkerama dan menenangkan pikiran.

Hal itu disebabkan lokasi pabrik gula di Jalan Kunduran-Todanan Km 7, Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora terletak di tengah hutan jati. .

Berada di ketinggian 270 meter di atas permukaan laut, tepat berada di puncak bukit kapur atau karst masuk dalam wilayah Pegunungan Kendeng, PG Blora mungkin merupakan satu-satunya PG yang dibangun di tengah hutan jati atau di luar kebiasaan lokasi pabrik gula yang umumnya dibangun di tengah-tengah hamparan kebun tebu.

PG Blora dibangun oleh PT Gendhis Multi Manis (GMM) yang salah satu pemegang sahamnya adalah pengusaha gula yaitu Kamadjaya yang kini masih menjabat sebagai Presiden Direktur PT GMM.

Pihak PT Gendhis Multi Manis (GMM) punya alasan tersendiri membangun pabrik gula dengan biaya investasi sebesar Rp1,7 triliun dan memiliki luas areal 4,7 hektar itu di kawasan hutan jati.

"Kenapa dibangun di tengah hutan, saya mau membuktikan bahwa kita bisa membangun pabrik gula di sini (tengah hutan). Kalau di tepi laut, itu namanya pabrik gula rafinasi," kata Presiden Direktur PT GMM Kamadjaya di lokasi PG Blora.

Untuk mencapai lokasi pabrik gula ini memakan waktu sekitar 3,5-4 jam dari Kota Semarang, Jawa Tengah dengan perjalanan darat atau 1 jam dari pusat kota Kabupaten Blora yang berjarak 38 km.

Kabupaten Blora, yang berbatasan dengan Jawa Timur itu sejak dulu terkenal sebagai penghasil pohon jati di Pulau Jawa sehingga sepanjang perjalanan dari pusat kota kabupaten ke lokasi pabrik, kanan kiri jalan selalu terlihat rerimbunan hutan jati.

Sekitar 10 Km menjelang lokasi pabrik, pemandangan hutan jati semakin terasa.

Hampir di sepanjang perjalanan menuju pabrik tak banyak terlihat perkebunan tebu yang menghijau menghampar luas. Lahan tebu yang ada hanya menjadi titik-titik di tengah pepohonan jati yang sangat dominan menghijau.

Menjelang masuk di area pabrik, terlihat benteng kekar setinggi kurang lebih 2-3 meter yang tersusun dari pecahan batu kapur yang mengesankan "kembali ke alam".

Kesan tersebut semakin terasa manakala memasuki kawasan pabrik, seolah-olah dibawa masuk kawasan hutan rimba yang dipenuhi beberapa jenis pepohonan selain jati, apalagi lokasi pabrik yang berada di puncak bukit semakin memperkuat nuansa alami.

Setibanya di lokasi, kemegahan PG Blora yang berdiri di atas lahan 60 hektar membuat rasa tak percaya, karena di tengah hutan jati yang cukup rapat terdapat sebuah pabrik gula yang sangat besar.

Setidaknya ada empat bangunan utama dengan ukuran besar di lokasi pabrik. Selain itu, ada bangunan lain yang fungsinya sebagai ruang pertemuan atau kantor pabrik, yang dilengkapi pendopo bergaya Jawa yang cukup luas yang seluruhnya dibuat dari kayu jati.

Seperti umumnya pabrik gula, PG Blora juga memiliki bangunan utama yaitu tempat proses penggilingan tebu, bangunan pengolahan nira tebu menjadi gula lengkap dengan kompor raksasa yang mengeluarkan uap air selama 24 jam.

Selain itu, terlihat gudang besar tempat menyimpan hasil produksi gula yang dikemas dalam bentuk karung ukuran 50 kg.

Di sisi timur PG Blora terdapat sebuah waduk buatan yang cukup luas hingga beberapa hektar. Waduk ini dibuat oleh PT GMM, fungsinya sebagai sumber air dan penampungan air hasil perasan tebu yang tersisa dari proses penggilingan tebu menjadi gula.

Letak pabrik gula yang berada di kawasan pegunungan kapur ternyata ada hal yang menarik yaitu soal keberadaan gua yang lokasinya tepat di tepi waduk atau di bawah kaki bukit yang atasnya merupakan bangunan utama PG Blora.

Goa tersebut diberi nama Goa Banyu atau goa yang dipenuhi air, menurut informasi ada dua goa lagi yang lokasinya tak jauh dari PG Blora. Kawasan PG Blora yang berada di kawasan karts atau perbukitan kapur, memungkinkan goa-goa alam terbentuk di wilayah ini.

Lukisan raksasa

Selain lokasinya di tengah kawasan hutan jati konsep kawasan yang alam, hal lain yang menjadikan PG Blora semakin menarik yakni sebuah lukisan mural raksasa di salah satu gedung pabrik tersebut.

Lukisan mural raksasa tersebut berada di salah satu dinding gedung terbesar di komplek PG Blora yang menjadi tempat penyimpanan gula hasil produksi PG Blora di bawah PT Gendhis Multi Manis (GMM). Keberadaan lukisan tersebut cukup menyedot perhatian karena lokasnya di pinggir jalan utama.

Sekilas lukisan raksasa bergaya retro yang menampilkan sosok tiga orang petani tebu tersebut dengan warna-warna mencolok seperti biru, merah, kuning dan hitam terlihat sangat menarik.

Selain itu pesan-pesan tulisan yang ada dalam lukisan mural tersebut semakin menarik perhatian, misalnya tertulis dalam bahasa jawa yaitu "Demen Becik Rukun Seger Waras" yang merupakan salah satu falsafah atau prinsip ajaran Samin --komunitas masyarakat adat di Blora-- yang kurang lebih artinya suka berbuat kebaikan, menjaga kerukunan akan selalu bugar dan sehat.

Samin Surosentiko merupakan tokoh lokal Blora yang terkenal dengan ajaran Samin. Pada masa penjajahan, tokoh ini terkenal dengan perlawanan tanpa kekerasan terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Selain itu, lukisan tersebut menampilkan dua petani tebu yang di bawahnya tertulis kalimat penyemangat bagi petani seperti "Tebune Lemu-lemu (tebunya gemuk-gemuk) serta "Kanggo Urip Bebarengan" (untuk hidup bersama).

Dengan tulisan-tulisan tersebut sepertinya pemilik pabrik gula tersebut memiliki falsafah bahwa pabriknya tidak hanya ingin mengejar keuntungan ekonomi pribadi namun keberadaan pabrik itu untuk menghidupi masyarakat terutama petani tebu.

Salah satu titik yang menarik dalam lukisan mural yang dibuat oleh para seniman yang sengaja didatangkan Kamadjaya dari Yogyakarta yakni matahari raksasa di pucuk tertinggi bangunan pabrik.

Kamadjaya yang memiliki jiwa seni tersebut mengatakan, lukisan raksasa ini merupakan bagian dari ekspresi dirinya yang juga senang dengan seni.

Bahkan lukisan mural juga pernah dibuatnya di beberapa pabrik yang pernah ia kelola sebelumnya. Menurutnya dari lukisan ini menjadi semangat bagi petani untuk menanam tebu.

Tak hanya berupa lukisan mural maupun aristektur bangunan lingkungan pabrik yang berkonsep seni, namun lelaki kelahiran Cirebon Jawa Barat 47 tahun lalu itu juga menjadikan pabriknya untuk menggelar kegiatan-kegiatan seni bahkan sejumlah seniman terkenal seperti Butet Kertarejasapun beberapa kali dihadirkan.

"Kami juga bahkan juga sedang mengembangkan komunitas-komunitas seni untuk masyarakat sekitar sini," katanya sembari memperlihatkan sebuah bangunan pendopo yang lebih kecil dari pendopo utama untuk menempatkan gamelan.

Gamelan tersebut nantinya bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar khususnya anak-anak muda belajar kesenian, terutama Jawa.

Pabrik pertama
PG Blora diresmikan 4 Juni 2014 oleh Menteri Pertanian Suswono dan mulai beroperasi Juli 2014. Dengan kemampuan mengolah tebu sebanyak 6.000 tcd (ton cane per day) atau ton tebu per hari, pabrik tersebut merupakan satu-satunya pabrik tebu baru yang pertama dibangun di Indonesia dan dimiliki swasta semenjak 30 tahun lalu.

Kamadjaya menceritakan dipilihnya lokasi pabrik di Kabupaten Blora yang selama ini lebih dikenal sebagai kering dan kurang subur untuk pertanian, saat itu dirinya sedang berada di Kalimantan untuk mencari lahan guna pengembangan pabrik gula.

"Tiba-tiba Pak Bibit Waluyo (Gubernur Jawa Tengah) hubungai saya. Untuk apa jauh-jauh mencari areal sampai Kalimantan di Jawa Tengah saja ada yakni di Blora," kata sarjana teknik sipil itu menirukan sang gubernur.

Tanpa pikir panjang diapun menyanggupi "tantangan" gubernur tersebut untuk membangun pabrik gula di Blora.

Pengalaman Kamadjaya membangun pabrik gula setidaknya sejak 2002, ketika ia membangkitkan kembali PT Industri Gula Nusantara (IGN) yang sudah 10 tahun mati.

Kemudian pada 2010, dia mulai membangun PG Blora, Jawa Tengah dengan investasi Rp 1,7 triliun melalui PT GMM, dengan dukungan bank dan modal para pemegang saham, hasilnya pada Juni 2014, PG Blora diresmikan dan mulai uji coba produksi bulan berikutnya.

"Sejak 1984, baru ada pabrik gula lagi berbasis tebu," kata lelaki lulusan Universitas Parahyangan Bandung itu.

Pabrik ini berdiri di atas lahan 60 hektar yang bahan baku tebunya ditopang oleh para petani plasma yang mencakup 4.000-5.000 hektar lahan tebu di Blora. Para petani tebu tersebut tersebar dalam radius 35 Km.

Dia menargetkan kawasan Blora bisa menopang kebutuhan 1 juta ton tebu untuk bahan baku pabrik atau 100.000 ton gula kristal atau lebih untuk setiap musim giling.

Untuk saat ini dari lahan tebu yang ada di Blora seluas 5.000 hektar, dengan estimasi produktivitas per hektar 70 ton tebu, hanya mampu memasok 350.000 ton tebu per musim.

Pabrik gula ini memiliki pembangkit listrik (power plant) mandiri yang menghasilkan 12 megawatt (MW), rata-rata yang terpakai setiap hari hanya 8 MW atau mampu mencukupi keseluruhan operasional pabrik sepanjang hari.

Sebagai sebuah pabrik baru, GMM membutuhkan dukungan para petani tebu untuk memberikan pasokan tebu ke pabriknya. Oleh karena itu, pihaknya sangat memperhatikan harga jual gula petani agar mereka tetap semangat menanam tebu.

Pihaknya juga mematok bagi hasil yang tinggi untuk bagi hasil gilingan tebu menjadi gula, yaitu 70 persen volume gula diberikan ke petani sedangkan sisanya 30 persen untuk pabrik.

"Pabrik memberikan jaminan. Konsep kami sedulur senyowo (saudara satu jiwa) dengan petani. Petani sakit satu kami merasa," kata Kamadjaya.

Ia mencontohkan, saat ini biaya pokok produksi gula di GMM sebesar Rp7.500 per kg, sedangkan harga beli pabrik terhadap petani hingga Rp9.000 per kg, namun harga jual pabrik ke distributor hanya Rp8.100-Rp8.500 per kg. Artinya ada selisih kerugian yang harus ditanggung oleh GMM.

"Kalau secara hitungan memang tekor, tapi ini buat investasi jangka panjang, biar petani memperbaiki lahan tebunya," kata Kamadjaya.

Setelah beberapa bulan beroperasi, rendeman atau persentase berat batang tebu dengan hasil gula, pabrik GMM mampu menghasilkan rendemen 7,7 persen, atau masih tinggi daripada rendeman pabrik-pabrik gula PTPN di sekitar Jawa Tengah yang hanya 5-6 persen. Artinya setiap 100 Kg tebu, pabrik GMM bisa menghasilkan 7,7 Kg gula sedangkan di pabrik lainnya hanya 5-6 Kg gula.

Bagi petani tebu Blora, keberadaan pabrik gula di daerahnya tersebut sangat membantu dalam pemasaran hasil tanamannya, karena selama ini mereka harus menjual tebu keluar daerah bahkan hingga Yogyakarta.

"Dengan adanya pabrik gula ini memberikan jaminan pemasaran tebu kami. Lokasi yang dekat membuat kami tak perlu mengeluarkan ongkos angkut yang tinggi," Abu Nafi salah satu petani tebu.

Sementara itu Kepala Desa Kedungwungu, Sumarsoni mengatakan, semenjak keberadaan PG Blora, wajah desanya yang berdekatan dengan pabrik tersebut telah berubah.

Menurutnya sebelum ada pabrik gula, kanan-kiri jalan di sekitar PG Blora tak ada warung-warung, hanya hutan jati.

"Dulu di sini tak ada warung, sekarang lihat sendiri sudah banyak warung di sini, ekonomi desa berputar karena ada pabrik ini," katanya.

PG Blora yang menyerap 400 tenaga kerja juga telah berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja di wilayah sekitar pabrik.

Sumarsoni berharap keberadaan pabrik gula tersebut bisa menjadi penggerak ekonomi di desa-desa sekitar pabrik termasuk Kecamatan Todanan, hingga mengangkat Kabupaten Blora. 

Pewarta: Rz.Subagyo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014