Jakarta (ANTARA) - Di era yang serba cepat ini, tekanan untuk selalu produktif semakin meningkat. Banyak orang merasa bahwa semakin sibuk mereka, semakin sukses pula mereka.

Sayangnya, pola pikir seperti ini justru bisa menjerumuskan ke dalam toxic productivity yaitu sebuah kondisi di mana seseorang merasa harus terus bekerja tanpa henti, bahkan saat tubuh dan pikirannya sudah lelah.

Jika dibiarkan, toxic productivity dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik, serta menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Apa itu toxic productivity?

Toxic productivity adalah kondisi di mana seseorang merasa harus selalu produktif tanpa henti, bahkan ketika tubuh dan pikirannya sudah kelelahan.

Seseorang yang mengalami kondisi ini sering kali merasa bersalah ketika tidak melakukan sesuatu yang dianggap "bermanfaat," meskipun sebenarnya mereka membutuhkan waktu untuk beristirahat.

Dalam berbagai aspek kehidupan, toxic productivity sering muncul sebagai dorongan untuk terus bekerja tanpa henti demi mencapai hasil maksimal.

Seseorang mungkin merasa harus selalu produktif, menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin, atau terus mengembangkan diri tanpa memberi waktu untuk istirahat.

Tekanan ini bisa berasal dari ekspektasi pribadi, lingkungan sekitar, tuntutan pekerjaan atau bahkan pengaruh media sosial yang lebih sering menampilkan kesuksesan tanpa memperlihatkan proses dan tantangan yang sebenarnya.

Ciri-ciri toxic productivity

1. Selalu merasa harus sibuk - Ada perasaan bersalah saat tidak sedang bekerja atau belajar.

2. Sulit beristirahat - Merasa cemas atau tidak nyaman saat mengambil jeda dari aktivitas produktif.

3. Kehilangan keseimbangan hidup - Fokus hanya pada pekerjaan atau studi, hingga mengabaikan aspek lain seperti kesehatan dan relasi sosial.

4. Takut tertinggal dari orang lain - Khawatir dianggap kurang produktif dibandingkan teman atau rekan seangkatan.

5. Tidak pernah puas dengan hasil sendiri - Terus merasa kurang meskipun sudah bekerja keras.

Menurut penelitian dari Journal of Occupational Health Psychology, toxic productivity bisa berdampak pada kelelahan mental, meningkatnya tingkat stres serta penurunan kualitas hidup akibat kurangnya waktu istirahat yang cukup.

Cara mengatasi toxic productivity

  • Sadari pola pikir yang tidak sehat - Refleksikan apakah produktivitas yang Anda kejar benar-benar berdampak positif atau justru merugikan kesehatan fisik dan mental Anda.

  • Buat prioritas dan kelola waktu dengan baik - Gunakan teknik seperti Eisenhower Matrix untuk menentukan tugas yang benar-benar penting dan harus segera dikerjakan.

  • Luangkan waktu untuk relaksasi - Berikan jeda dalam rutinitas dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan, seperti membaca, berjalan santai, atau sekadar berbincang dengan teman.

  • Batasi konsumsi media sosial - Jangan terjebak dalam tekanan sosial yang membuat Anda merasa harus selalu produktif.

  • Pertimbangkan bantuan profesional - Jika toxic productivity mulai berdampak serius pada kesehatan mental, berkonsultasilah dengan konselor atau psikolog untuk mendapatkan dukungan yang tepat.


Produktivitas yang sehat adalah produktivitas yang tetap memperhatikan keseimbangan hidup. Terus bekerja tanpa henti tidak selalu berujung pada kesuksesan, justru bisa mengarah pada kelelahan dan ketidakbahagiaan. Dengan mengenali ciri-ciri toxic productivity dan menerapkan strategi yang tepat, kita bisa tetap produktif tanpa mengorbankan kesejahteraan diri sendiri.

Baca juga: Psikolog sebut toxic masculinity jadi faktor pemicu pria bunuh diri

Baca juga: Ciri-ciri pasangan toxic yang sebaiknya dihindari dan segera putuskan

Baca juga: Psikolog: Segera cari bantuan jika alami kekerasan di sekolah

Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025