Jakarta (ANTARA News) - Seharusnya ibarat mesin diesel, kian panas kian kuat. Namun, ini sebaliknya, baru panas, turun kembali tensinya alias rencana yang sudah digembar-gemborkan ujung-ujungnya ditunda.

Rencana eksekusi terhadap enam terpidana mati--dua terpidana kasus pembunuhan berencana dan empat terpidana kasus narkoba--ini di awal kerja Jaksa Agung RI H.M. Prasetyo.

Pada akhir November 2014, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Basyuni Masyarif menyatakan di penghujung tahun ini akan mengeksekusi lima terpidana mati.

Pernyataan itu langsung melambungkan citra korps Adhyaksa dengan ketegasannya atau tanpa ada ampun, terutama bagi pelaku kasus narkoba. Pemerintah pun memberikan respons dengan menyebutkan angka-angka terpidana mati bakal dieksekusi.

Tentunya soal eksekusi mati itu menghiasi media cetak, online, dan televisi. Bahkan, muncul kembali pernyataan bahwa jumlah terpidana mati yang bakal dieksekusi tahun ini bertambah satu orang, semula lima orang menjadi enam orang, di antaranya warga negara asing dalam kasus narkoba. Jawabannya, Kejagung semakin naik daun.

Persis dengan bunga yang baru mekar, tiba-tiba redup kembali pada dua hari sisa tahun 2014. Rencana eksekusi mati itu ditunda.

Alasannya tidak lain soal adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali selama terdapat novum atau bukti baru hingga memerlukan fatwa dari Mahkamah Agung.

Bersamaan itu juga muncul banyaknya penolakan pelaksanaan eksekusi mati oleh sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tokoh-tokoh. Mereka menilai eksekusi itu melanggar hak asasi manusia (HAM).

Pertunjukan pencitraan yang baru mulai ditampilkan dengan sejumlah lakon di panggung melalui kata-kata yang membahana itu sayangnya tiba-tiba berakhir dengan getir. Eksekusi ditunda, bukan dibatalkan. Penonton pertunjukan itu pun kecewa dan meminta tiket dipulangkan kembali.

"Sekarang sudah tanggal berapa, 29 Desember 2014, tinggal dua hari lagi (akhir 2014), kira-kira bisa diperhitungkan sendiri," kata Jaksa Agung H.M. Prasetyo.

Jaksa Agung mengaku bahwa pihaknya belum mendapatkan laporan mengenai kesiapan untuk mengeksekusi dua terpidana mati perkara pidana umum itu terkait dengan adanya putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali selama terdapat novum atau bukti baru.

"Akan tetapi, memang kami awalnya akan mengeksekusi sekian orang terpidana mati. Namun, kembali kendala itu yang menghambat untuk melakukannya. Percayalah, begitu aspek hakim yang sudah terpenuhi, akan kami laksanakan," katanya.

Saat ditanya kembali oleh wartawan yang artinya pada tahun 2014 tidak ada eksekusi mati, dia menjawab sekarang sudah tanggal berapa.

"Ya sekarang tanggal berapa?" katanya.

Ia menyebutkan soal pengajuan PK lebih dari satu kali itu akan dibahas dengan Mahkamah Agung (MA) bagaimana solusinya yang terbaik agar tidak berlarut-larut seperti ini.

"Jaksa hanya sebagai eksekutor, jangan salah. Kami hanya melakukan putusan yang sudah tetap. Semua proses hakim sudah tuntas," katanya.

Jaksa Agung menekankan, "Jangan salahkan jaksanya yang mengulur waktu, ada prasangka jaksa ragu-ragu dan sebagainya karena kami hanya pihak eksekusi putusan."

Ia menegaskan bahwa aspek yuridis itu harus dipenuhi, sedangkan aspek teknis mudah sekali dengan berkoordinasi dengan kapolda, Kanwil Kumham, dan kesehatan.

"Ini harus segera diakhiri agar ada kepastian hukumnya," katanya.

Sementara itu, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan bahwa hukuman mati terhadap bandar narkoba akan tetap dilaksanakan karena Presiden Joko Widodo menolak grasi yang diajukan oleh 64 terpidana tersebut.

"Perlu saya tegaskan bahwa pemerintah tidak pernah memutuskan hukuman mati, yang memutuskan hukuman mati adalah pengadilan," kata Jusuf Kalla.

Wapres berada di Aceh menghadiri peringatan 10 tahun tsunami yang dihadiri Ibu Mufidah Jusuf Kalla, para menteri Kabinet Kerja, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, duta besar, perwakilan negara asing, serta masyarakat Indonesia yang datang dari berbagai daerah.

Wapres mengatakan bahwa Presiden dalam masalah itu hanya diminta memberikan ampunan atau tidak. Oleh karena itu, Presiden merasa perlu minta masukan dan pendapat dari ormas Islam terbesar, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

"Presiden tidak dalam posisi memberikan hukuman mati atau tidak, tetapi yang memutuskan pengadilan. Jadi, kunjungan Presiden ke dua ormas Islam tersebut hanya minta masukan," kata Jusuf Kalla.


Bisa Dieksekusi

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyatakan bahwa kejaksaan dapat langsung mengeksekusi terpidana mati apabila dua permohonan peninjauan kembali (PK) ditolak.

"Cukup dua kali PK. Kalau putusannya ditolak, kejaksaan bisa langsung eksekusi. Tidak perlu menunggu PK ketiga atau seterusnya karena sudah memenuhi syarat MK dan sudah memenuhi unsur lebih dari satu kali," kata Margarito.

Ia menambahkan bahwa proses PK memang adalah pranata hukum berlaku positif di Indonesia. Oleh karena itu, tepat bila PK dipertimbangkan dalam pelaksanaan eksekusi terpidana mati. Bagi mereka yang tidak mengajukan PK, ditekankannya tidak ada alasan pemerintah menunda pelaksanaan eksekusi.

Menurut dia, PK penting dipertimbangkan guna memastikan tidak adanya "human error", fakta yang mendukung dinilainya harus kukuh dalam mengeksekusi terpidana mati.

Seperti pada kasus Sengkon dan Karta yang dituduh membunuh. Namun, tidak terbukti dan tidak benar setelah hukuman diijalani.

"Bayangkan kalau eksekusi mati dilakukan dan ternyata tidak terbukti kesalahannnya," katanya.

Meski demikian, dirinya meminta MA harus mampu dengan cepat menyelesaikan pengajuan PK terpidana mati, khususnya bila permohonan merupakan kedua kalinya.

"Waktu pembatasan PK, saya setuju. Mahkamah Agung harus bisa menangani dengan cepat PK kedua dalam waktu sesingkat-singkatnya," katanya.

Dalam meneliti novum, menurut dia, sangat mudah sekali, paling lama dua bulan untuk proses PK kedua.

"Selama ini, bertahun-tahun prosesnya, padahal bukti-bukti sudah dipanggungkan sejak di pengadilan negeri hingga kasasi," katanya.

Oleh Riza Fahriza
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014