Seharusnya aksi korporasi untuk melakukan penggabungan atau peleburan tidak boleh dipaksakan, karena hal itu harus dilakukan sesuai dengan analisa bisnis/kebutuhan semata (secara alamiah), baik karena kebutuhan akan pemenuhan permodalan, kebutuhan ak

Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Nusantara Bona Pasogit (NBP) Hendi Apriliyanto mewakili berbagai BPR di Tanah Air menyampaikan bahwa BPR ingin berkembang sesuai dengan analisa dan kebutuhan bisnis, tanpa paksaan dari otoritas atau pihak lainnya.

Pihaknya meminta penggabungan BPR untuk pengembangan bisnis agar dilakukan hanya berdasarkan analisa dan kebutuhan bisnis, bukan dengan paksaan, katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPR-RI di Jakarta, Rabu.

Sehingga, ia mengatakan, perlunya pembatalan kewajiban penggabungan BPR sebagaimana ketentuan Pasal 100, Pasal 130 dan Pasal 131 POJK Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah.

Dengan penggabungan paksa, Ia menjelaskan, akan berdampak terhadap perubahan karakteristik dan pengelolaan BPR yang sejatinya merupakan bank di tingkat daerah/kabupaten/kota, bukan di kepulauan utama.

Lalu, penggabungan paksa BPR berpotensi membuat pengurangan tenaga kerja, dari tingkat pengurus BPR (direksi dan komisaris) hingga karyawan, sehingga berpotensi menambah tingkat pengangguran.

Kemudian, akan berdampak terhadap perekonomian daerah, yang mana pemerintah daerah mengharapkan uang yang berasal dari daerah tidak keluar dari daerah wilayah mereka.

Apabila penggabungan Pemilik Saham Pengendali (PSP) yang sama diwajibkan, akan memungkinkan dana yang sebelumnya ada di daerah (kabupaten/kota) keluar ke daerah letak kantor pusat BPR hasil penggabungan.

“Hal ini tentu menyebabkan dampak negatif perekonomian di daerah tersebut,” ujar Hendi.

Hendi menyampaikan bahwa pengaturan Pasal 100 dan Pasal 130 tidak memiliki dasar hukum, karena tidak ditemukan perintah/ amanah dalam Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang mengatur adanya penggabungan atau peleburan dalam 1 wilayah pulau atau kepulauan utama, bahkan tidak ada POJK khusus yang mengatur tentang penggabungan BPR dalam satu kepemilikan PSP dalam 1 wilayah pulau atau kepulauan utama.

Apabila berkaca dari POJK No. 39/POJK.03/2017 Tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Bank Umum), yang mengatur bahwa diseluruh wilayah Indonesia hanya boleh satu bank dan satu PSP bank atau Single Presence Policy (SPP), Ia menyebut peraturan ini hanya berlaku bagi Bank Umum.

Sekalipun demikian, menurut dia, kebijakan SPP bank umum yang telah diatur itu pun masih harus dipertanyakan, apakah peraturan tersebut dibuat berdasarkan hukum dari undang-undang (UU).

“Seharusnya aksi korporasi untuk melakukan penggabungan atau peleburan tidak boleh dipaksakan, karena hal itu harus dilakukan sesuai dengan analisa bisnis/kebutuhan semata (secara alamiah), baik karena kebutuhan akan pemenuhan permodalan, kebutuhan akan peningkatan daya saing dan kebutuhan lainnya yang relevan dalam bisnis,” ujar Hendi.

Baca juga: LPS siapkan Rp160 miliar untuk dukungan IT BPR dan BPRS

Baca juga: Perbarindo dorong BPR jadi pilar pengembangan UMKM nasional

Baca juga: Jalan panjang menuju penguatan industri BPR dan BPRS

Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.